Bab 2

11.4K 896 165
                                    

Kerumunan yang menatap wanita itu penasaran menjadi panik berlarian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kerumunan yang menatap wanita itu penasaran menjadi panik berlarian. Sedangkan kelompok teroris tadi, salah satu dari mereka bergerak menangkap dia dan menembak dalam satu kali tembakan. Wanita itu meninggal di tempat.

Salisha menarik tangan Vania dengan kuat, membawa mereka pergi dari sana secepat mungkin. Adiknya yang sempat membeku melihat kejadian mengerikan langsung di depan mata, tersadar dan mengikuti langkah Salisha. Akan tetapi, baru beberapa meter mereka berdua mendengar suara ledakan. Teriakan histeris pengujung ikut memenuhi suasana, dan beberapa hiasan berjatuhan, tidak sengaja tertarik atau mungkin disingkirkan paksa.

Di sela-sela langkahnya, Vania menoleh ke belakang. Kecepatan larinya melambat membuat Salisha melihat ke arah yang menjadi perhatian Vania sesaat. Bianglala tempat mereka naik tadi mengalami kebakaran. Teroris itu mungkin melemparkan bom peringatan ke bianglala yang sekarang terlihat oleng, siap untuk jatuh.

Tiba-tiba terdengar ledakkan lebih besar dari sebelumnya dari arah pintu keluar. Orang-orang termasuk Salisha dan Vania memutar arah mereka ke pintu masuk. Sayangnya, daerah itu hampir semuanya dilalap api. Beberapa nekat menerobos, ada juga masih mundur tidak ingin melewati kobaran panas yang bahkan sudah terasa di tempat mereka berdiri.

"Kak ..."

"Kau percaya padaku, Vania?" Salisha menatap Vania berusaha meyakinkan adiknya. Dia melihat gadis mengangguk, "Kita ke sini bersama. Pergi juga begitu."

Salisha melepas outer kainnya, merobek paksa dengan paku di tiang kayu lalu mengambil botol minuman dari tas dan membasahinya. Salisha memberikan sebagian ke Vania sebelum menarik napas panjang. Dia sempat melempar peringatan dari matanya ke Vania untuk tidak protes ketika melihat raut wajah tidak setuju gadis itu.

"Tutup hidung dan mulutmu dengan itu."

Vania mengangguk, "Kalau terjadi sesuatu dan salah satu dari kita lebih dekat ke pintu, harus pergi dahulu." Salisha hanya memandangnya, dia tidak mengangguk atau menggeleng.

'Jika yang kau di dekat pintu itu, aku setuju.' Salisha menyimpan kata-kata itu di pikiran, lalu menggandeng tangan Vania. Kain yang dibasahi tadi sudah dipakainya.

Orang-orang juga bergerak ke gerbang, menetap di situ hanya menunggu kematian, tapi tidak ada yang tahu nasib dengan menerobos kobaran api. Sebenarnya kobaran itu tidak terlalu besar, jalan bebatuan masih bisa dilalui hati-hati. Namun, ledakkan ketiga kini terdengar. Tidak tahu karena gas meledak dari tempat kios makanan sebelumnya yang terpicu dari api atau teroris melempar bom lagi. Segera mereka bergerak, sayangnya beberapa ada terjebak di sisi pasar malam lainnya berteriak minta tolong.

Saat keduanya hampir dekat dengan pintu keluar, lampu besar dengan hiasan di sisi kiri jalan jatuh dan memisahkan sebagian orang tidak bisa lewat, termasuk Vania. Api yang sebelumnya melalap lampu itu menjalar mengikuti panjang hiasan kertas. Salisha tetap di situ sedangkan lainnya sudah buru-buru pergi.

Figuran Hanya Ingin Menonton! (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang