8. Padan

14 1 0
                                    

/pa.dan/
1. banding; imbangan
2. cocok; sesuai; patut benar
3. sempadan; batas
4. garis (titik dan sebagainya) yang menjadi batas atau tempat melemparkan batu (kelereng dan sebagainya) pada permainan lempar-lemparan
5. janji
6. curang (terutama dalam permainan)

***

Peace is not absence of conflict, it is the ability to handle conflict by peaceful means.

— Ronald Reagan

***

"Baru pulang?"

Arina membuka sepatu tatkala ia disambut oleh ungkapan itu. Ia mengangkat muka dan mendapati Ayah dan Mama yang tengah duduk di ruang tamu, menyambut entah siapa.

Untungnya, Arina sudah melirik kaca di angkutan kota. Matanya masih perih, namun wajahnya tak kusut akibat tangis. Matanya memancarkan kuyu akibat aktivitas tinggi.

"Kenalin, ini Tante Sinta. Adeknya Mama." Ayah meminta Arina mendekat. "Salam dulu."

Arina menyalami Tante Sinta.

Arina melirik seluruh penghuni rumah. Karina tak hadir di ruangan itu. Ayah dan Mama duduk berdekatan, tangan menggamit, dan tergelak di hadapan Tante Sinta.

Arina langsung undur diri. Ia melangkah ke pinggir, langsung menuju kamar, dan bersiap membersihkan diri.

Tatkala ia akan masuk ke kamar mandi, Karina keluar kamar. Arina menangkap kilat mata Karina yang seolah menuduh. Seolah tahu.

Arina tak menggubris. Ia hanya membersihkan diri, mengganti baju, dan langsung bergabung di ruang tamu.

"Aduh, kangen Karina banget ya. Dulu masih kecil, sekarang udah lebih tinggi dari Tante," ungkap Tante Sinta.

"Iya dong! Karina juga baru punya pacar!" jawab Mama.

"Waduh, kok udah beger lagi? Jangan cepet-cepet gede, dong, Karina!"

Arina terdiam. Beberapa saat duduk di sana, tak ada ucapan yang diarahkan padanya. Seharusnya, Arina langsung berkubang di kamar. Bintang tamu hari itu adalah Karina.

Tiba-tiba, Tante Sinta bertanya, "Nah, udah akad, kan? Kapan mau resepsinya?"

Arina dan Karina terbelalak.

"Ga mungkin cepet-cepet resepsi juga sih. Belum dua bulan juga cerainya." Ayah menyandarkan punggung ke kursi. "Nggak mau jadi berita heboh juga. Nanti nama baik perusahaan kebawa-bawa."

Ayah mengucapkan itu tanpa beban. Arina dan Karina bergidik.

Tante Sari menimpal, "Ya nggak usah buru-buru juga sih. Ga sabar aja ketemu sama pacarnya Karina. Kalau udah ada pesta nikahan, pacar kamu dibawa, kan?"

Karina membisikkan persetujuan, namun matanya dipalingkan ke arah lain. Tatkala Arina menoleh, Karina jelas-jelas tengah menelisik reaksi Arina.

"Tapi nggak apa-apa ya? Ga akan jadi masalah di berita-berita?" tanya Tante Sari.

"Udah beres sih masalah itu. Ibunya Arina juga udah dapet harta gono-gini banyak, yang mau ga kerja setelah ini juga bisa. Tapi malah ngotot masih mau kerja di Jakarta. Terserah aja, sih, yang penting pergi dari sini."

Arina menelan ludah. Ia bahkan tak yakin untuk bertahan di sana.

Tiba-tiba, Karina berdiri. Ia melolongkan, "Ah, iya, tugas Senin. Rin, bantuin, ya."

Tanpa aba-aba, keduanya langsung pergi dari sana.

Karina menatap Arina. Arina langsung masuk kamar dan keluar dengan buku tugas, kemudian masuk ke kamar Karina.

[2/3] PadmasanaWhere stories live. Discover now