/kul.dê.sak/
jalan buntu***
Nobody can bring you peace but yourself.
— Ralph Waldo Emerson
***
Saat awal kelas sepuluh, Arina memang seringkali keluar sekolah dan membeli jajanan di sekitar sana sebelum pulang. Terkadang, ia juga membawakan sedikit makanan untuk orangtuanya (yang berakhir dengan makanan itu dimasakkan oleh pembantu di rumah agar lebih bersih). Semenjak Mama dan Karina masuk ke rumah, ia tak pernah membawakan jajanan ke rumah.
Perjalanan ke supermarket tak membutuhkan banyak waktu. Tak sampai lima menit, keduanya mencapai tempat itu.
Sepanjang jalan, Arina termenung. Bahkan, kesadaran akan laki-laki yang tengah berjalan bersamanya lenyap. Kepalanya baru kembali ke realita tatkala Arina telah mengantri untuk membeli cimol.
"Ah, maaf," ungkap Arina.
Ghassan mengernyit, lalu berujar, "Kamu kenapa?"
"Emangnya aku kenapa?" tanya Arina.
"Nggak apa-apa. Kaya mikir banget gitu."
Arina mendongak. Ia terpaku akan Ghassan yang masih mengenakan wig.
"Nggak lepas wig?" tanya Arina.
"Kamu juga ga lepas kan?" balas Ghassan.
Arina menyentuh rambutnya. Rambut yang seharusnya digelung setelah dibebaskan dari wig malah masih bersembunyi di bawah wig di atas bahu.
"Ah. Lupa," kilah Arina. "Kamu mau lepas wig? Mau aku bantu?"
Ghassan tak langsung menjawab. Ia tersenyum miring sebelum menjawab, "Boleh, tapi aku bantuin kamu ngelepasin wig juga ya."
Arina tak menyahut. Ia meminta Ghassan menunduk. Tak lama kemudian, wig Ghassan meluncur turun dari kepala.
Arina menunduk. Ghassan menyentuh wig Arina, namun gagal melepaskan jepit yang menahan wig itu. malahan, Arina memekik ngilu.
Keduanya bergumul dalam penat. Untungnya, tepat sebelum mereka memesan, wig Arina telah terlepas dari kepala.
"Dua ribu cukup?" tanya Ghassan.
Arina menganguk. Tangannya masih menggenggam wig dan jepit rambut penuh dengan potongan rambutnya.
"Besok-besok, ga usah ngotot mau ngebantuin lagi." Arina mengangkat jepit. "Rontok semua kan!"
"Rambut kamu panjang, sih, jadinya lebih nempel ke jepit!" kilah Ghassan. "Tapi sakit?"
"Ya sekarang sih udah nggak, tapi bisa botak kalau dicabutin kaya gini terus!"
Ghassan mengambil cimol pesanan mereka. Ia mengarahkan agar Arina duduk di bangku depan supermarket.
Arina masih meratapi rambut rontok. Sebaliknya, Ghassan terkekeh.
Arina menatap tajam.
"Kenapa ketawa-ketawa?" hardik Arina.
"Nggak apa-apa. Lebih baik kamu marah-marah gini dibandingin diem dan sedih kaya tadi," ungkap Ghassan.
"Emangnya aku keliatan sedih?" tanya Arina.
"Nggak sedih juga sih. Kaya ngeliat yang jauh banget, yang lama terjadi?" Ghassan menyerahkan cimol milik Arina. "Kita masih enam belas juga. Emangnya kamu terkenang apa?"
YOU ARE READING
[2/3] Padmasana
RomantiekBuku kedua dari trilogi Wanantara. . Dalam bahasa sansekerta, Padmasana berarti 'singgasana'. Satu minggu adalah waktu yang cukup untuk menelan dan memaknai perubahan. Sayangnya, kepala Arina kalut menghadapi realita yang terus berganti. Ayahnya nya...