13. Kulum

9 1 0
                                        

/ku.lum/
1. menahan (gula-gula dan sebagainya) di dalam mulut
2. menggumam (berkata-kata dengan mulut tertutup)

***

If there was any great lesson in life it was this: No battle was ever won with silence.

― Shannon L. Alder

***

GhassanRachman: Assalamualaikum, cantik :)

Arina memperhatikan pesan BBM dari Ghassan. Baru mencapai rumah, ia sudah meluapkan cuap-cuap palsu.

Tapi Arina juga memberikan kesempatan, sih.

Arina tak langsung membalas. Setelah membersihkan diri, ia berkutat di meja belajar dan mengerjakan tugas yang perlu diselesaikan.

Pintu depan terbuka. Dari jauh, Arina mendengar Karina masuk dan mengucapkan salam. Mama, yang sedari tadi mengurung diri di kamar, keluar dan menyambut Karina.

Entah apa yang mereka obrolkan. Sepertinya, mereka mengobrol sampai ke depan kamar Karina.

"Karina bersih-bersih dulu, ya, Ma," ucap Karina.

Hening. Tiba-tiba, pintu kamar Arina terbuka.

"Lo, Arina udah pulang?" tanya Mama. "Sejak kapan?"

"Dari tadi, Ma," Arina berujar. "Mama tadi di kamar terus, sih."

"Aduh, maaf, ya, Rin. Mama nggak denger kamu dateng." Mama tersenyum. "Rajin banget ya, ngerjain tugas."

Arina hanya tersenyum tipis.

Tiba-tiba, Mama mendekat ke Arina. Ia bersitatap dengan figura foto Arina saat masih kecil di atas meja belajar.

"Lo, foto kamu masih kecil masih ada ya." Mama mengambil figura itu. "Padahal yang di ruang keluarga udah Mama singkirkan, kan."

Mata Arina membulat. Ia lupa menyembunyikan foto itu. Ia merebut foto itu dan memberikan figura kosong ke Mama.

"Arina mau nyimpen satu foto ini aja. Foto Arina sendirian, kan. Boleh, kan, Ma? Nggak akan Arina pajang. Nih Mama ambil figuranya, buat jaminan kalau Arina nggak akan pajang lagi."

"Nggak boleh, Sayang. Kan perjanjiannya nggak boleh ada foto lama sebelum Ayah sama Mama nikah."

"Plis, Ma."

"Nggak boleh! Sini kasih!"

Arina memeluk foto itu erat.

"Kalau Arina nggak kasih, Mama lapor ke Ayah, ya," peringat Mama.

Arina tak membalas.

Mama menghela napas. Ia beranjak keluar kamar dan kembali mengurung diri di kamar orangtua.

Arina langsung berlari keluar rumah. Ia tak tahu cara menyembunyikan foto itu. Satu-satunya foto masa kecil yang masih ada di tangan. Satu-satunya foto yang membuktikan bahwa ia pernah bertumbuh.

Arina berhenti di gerbang perumahan belakang; kebalikan rute pulang Ayah. Ia membuka ponsel dan memutar akal.

Apakah ia bisa menitipkan foto itu ke Emily?

Tidak. Orangtuanya tahu Emily. Orangtuanya tahu teman-temannya yang lain. Tak mungkin ia menitipkannya ke teman-temannya yang tahu.

Kecuali—

Arina menekan nomor Ghassan. Cepat, pria itu mengangkat telepon.

"Assalamualaikum, Cantik," buka Ghassan.

[2/3] PadmasanaWhere stories live. Discover now