16. Hablur

6 1 0
                                    

/hab.lur/

1. benda keras yang bening seperti kaca; kristal
2. bentuk padat yang homogen dan bersudut dari suatu zat
3. sesuatu yang tampak bening berkilau (tentang mata); bersinar-sinar

***

Being challenged in life is inevitable, being defeated is optional.

– Roger Crawford

***

Ayah membuka pintu mobil. Arina dan Karina melompat masuk.

Karina memilih duduk di depan, sedangkan Arina masuk ke bagian penumpang belakang.

Senyap.

"Apa kabar orangtua Emily?" tanya Ayah.

"Baik, kok. Lagi nggak di rumah, jadi nggak ketemu tadi," jelas Arina.

"Oke. Gimana Emily, Karina? Belum pernah ke rumahnya, kan?"

Karina mengangguk.

"Nah, gitu dong. Satu kelas, satu lingkungan pergaulan. Kan akrab, nggak saling diem-dieman," sindir Ayah.

Kedua anak tak menampik.

Sesampainya di rumah, keduanya menghambur ke kamar Arina. Bahkan, sebelum membersihkan diri, mereka langsung mencapai laptop Arina untuk mengecek folder bukti perselingkuhan Ayah dan Mama.

"Kalau nggak mau liat, mending jangan," bisik Arina. "Apalagi ada foto Mama."

"Nggak. Aku mau liat. Aku pingin tau hubungan Mama sama Ayah."

Arina membuka folder. Puluhan screenshot memenuhi layar.

Arina membuka screenshot pertama, lalu berdiri. Ia menyilakan Karina duduk, sedangkan ia merapikan tas untuk sekolah keesokan hari.

Tatkala Arina membalikkan badan, isak tumpah dari mulut Karina. Tangan Arina tergenggam erat, namun ia memaksakan diri untuk merapikan barang. Akhirnya, ia mendorong tisu mendekat ke Karina sebelum Arina duduk di kasur.

"Selama ini?" tanya Karina.

"Harusnya lebih lama lagi." Arina mendesah. "Itu cuma pesan beberapa hari sebelum ketahuan. Ayah sering ngehapus." Arina memberi jeda sebelum menambahkan, "Makanya screenshot-nya nggak banyak."

"Aku nggak tau harus liat Mama kaya gimana lagi." Karina menutup muka. "Nggak percaya Mama punya sisi ini."

Senyap.

Karina bangkit. Ia menutup folder, lalu berbalik. Arina langsung mendorong Karina ke kasur.

"Jangan marah ke Ayah sama Mama!" hardik Arina. Ia menyandarkan badan ke pintu, agar Karina tak mudah keluar.

"Tapi mereka jahat ke Ibu sama kamu!" pekik Karina.

"Mau gimanapun, udah lewat. Kejauhan, malah." Arina membuang muka. "Toh kita udah jadi keluarga selama beberapa bulan juga."

Sebelum Karina menjawab, pintu kamar Arina didorong. Arina terjepit pintu tatkala Ayah dan Mama merasuk ke kamar.

"Karina kenapa nangis?" kata Ayah.

"Kamu bilang apa ke Karina?" desak Ibu.

Untungnya, Karina langsung meluruskan, "Arina nggak bilang apa-apa! Lagi ngobrol aja, tiba-tiba keingetan temen-temen di Tasik pas main ke rumah Emily."

Mama meletakkan tangan di pundak Karina. Ia berujar, "Kar, Bandung lebih baik daripada Tasik. Keluarga kamu lengkap di sini. Orangtua bahagia. Anak-anaknya juga dong. Duh, Karina manja juga ya."

[2/3] PadmasanaWhere stories live. Discover now