/lê.gap/
1. tiruan bunyi debaran jantung (papan dipukul dan sebagainya); degap
2. suram, tidak bercahaya, dan memberi kesan tidak rata
3. tidak tembus pandang***
There is no persuasiveness more effectual than the transparency of a single heart, of a sincere life.
— Joseph Barber Lightfoot
***
Luar biasa.
Arina pernah menyaksikan Ibu yang membantu salah satu tantenya menikah. Seingatnya, Ibu mendudukkan Arina di kursi penumpang pagi buta, menjemput tantenya, dan berkeliling Jakarta untuk mencari katering. Bahkan, Arina masih mengingat kakinya yang pegal akibat terlalu lama duduk.
Setidaknya, Arina tahu bahwa persiapan pernikahan bukanlah hal yang bisa diwujudkan sekejap. Melihat bunga-bunga segar dan venue mewah yang dirias dengan sukacita, Arina tak berani membayangkan biaya yang Ayah keluarkan untuk pernikahan itu.
Sebenarnya, Arina tak mempermasalahkan pernikahan itu. Mau tak mau, mereka harus menikah, apalagi dengan Ayah yang merupakan petinggi perusahaan konstruksi di Indonesia. Yang tak Arina pikirkan adalah mereka yang memilih menyembunyikan rencana itu dari Arina dan Karina. Bahkan, Arina tak menangkap diskusi Mama dan Ayah perihal pesta pernikahan mereka. Mereka benar-benar berhasil memasang topeng itu.
Arina menoleh. Karina menatap ke samping; menolak untuk melihat lurus ke arah Ayah dan Mama yang menunggu aba-aba dari wedding organizer untuk masuk. Semburat merah menyembur dari matanya yang pekat.
Di saat-saat seperti itu, Arina rindu Ibu. Ibu selalu memposisikan diri agar dapat bersalaman cepat dan menyantap hidangan. Dari situ jugalah Arina belajar deteksi rasa lewat bumbu yang melimpah ruah.
Apa kabar Ibu? Apa kabar tante-tantenya dari pihak Ibu?
Bahkan, di pesta pernikahan Ayah dan Mama, Arina tak dapat menyapu Ibu dari benak.
Seketika, mata Arina membulat. Dari samping, dua pasang orangtua bergabung dengan rombongan. Arina mengenali kakek dan neneknya dari pihak Ayah. Berarti—
Dua sosok tua yang lain memburu Karina. Dengan enggan, Karina menyalami mereka.
"Halo, cucu kita yang cantik! Apa kabar, nih?"
Karina menjawab enggan, "Apa kabar, Ni, Ki?"
"Duh, cucu Nini sama Aki udah gede lagi." Nini mengelus kepala Karina. "Maaf ya kalau Nini sama Aki jalannya udah pelan-pelan."
Arina menoleh. Kakek dan neneknya mendekat. Arina langsung menyalami dan menyapa mereka.
"Arina nggak apa-apa?" tanya Nenek.
"Arina yang harusnya nanya ke Nenek sama Kakek! Jauh kan dari Bali ke sini lagi."
"Nggak apa-apa. Malah kita pension sambil jalan-jalan terus di sana." Kakek tergelak. "Tapi emang kita diundang ke sini sebulan yang lalu, sih. Lumayan mendadak, ya?"
Kakek dan Nenek menatap Arina. Air mata Arina terpancing timbul, namun ia lekas menyeka sudut mata.
"Pasti bingung ya." Nenek mengusap punggung Arina. "Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Arina mengangguk.
Seketika, mereka melebur. Karina mengenalkan Arina pada Aki dan Nini, sedangkan Kakek dan Nenek menyambut Karina dengan sukacita.
Wedding organizer mengisyaratkan untuk bersiap. Seketika, Arina merapikan pose dan Karina menyentuh rambutnya yang disanggul.
Mereka melangkah pelan; berdiri di belakang sepasang kakek dan nenek. Semuanya berjalan ke depan untuk menuruti prosesi. Berbeda dengan rombongan yang langsung berjalan ke pelaminan, Arina dan Karina diarahkan untuk masuk ke bagian khusus keluarga mempelai.
![](https://img.wattpad.com/cover/188974574-288-k664004.jpg)
YOU ARE READING
[2/3] Padmasana
RomanceBuku kedua dari trilogi Wanantara. . Dalam bahasa sansekerta, Padmasana berarti 'singgasana'. Satu minggu adalah waktu yang cukup untuk menelan dan memaknai perubahan. Sayangnya, kepala Arina kalut menghadapi realita yang terus berganti. Ayahnya nya...