15. Hendak

10 1 0
                                        

/hên.dak/
mau; akan; bermaksud akan

***

To see things in the seed, that is genius.

– Lao Tzu

***

Arina tak bangkit. Ia memperhatikan Emily yang menyilakan Karina duduk. Matanya terlalu sembab untuk duduk dan berbincang dengan keduanya.

"Aku nggak enak ganggu kalian," kata Karina.

"Lumayan, sih," Emily mengangguk, "tapi aku kepo juga masalah kalian berdua. Selama ini, aku cuma dapet sudut pandang Arina. Nggak pernah denger cerita kamu."

Arina menoleh. Rambut panjang Karina yang tengah dicepol sedikit basah dengan air hujan. Gadis itu melepaskan ikat rambut, lalu duduk bersandar di dinding.

"Jadi mau interogasi?" tebak Karina.

"Tepat!" Emily bertepuk tangan. "Nggak buat apa-apa sih. Aku aja yang kepo. Mau nggak jawab pertanyaan juga nggak apa-apa."

Karina menghela napas, lalu mengangguk.

"Oke, kamu siapa?" serbu Emily.

"Serius pertanyaan kamu itu?" sindir Karina.

"Iya dong. Kamu nggak ada asap atau api, langsung dateng. Langsung daftar cheerleader dan menghancurkan budaya cheerleader yang cuma ngerekrut kelas sepuluh. Dan kalau murid pindahan aja sih nggak apa-apa. Daftar ke sekolah langsung minta sekelas sama Arina dan ngaku-ngaku saudaranya!"

Karina menjawab, "Aku harus cerita apa soal ini?"

"Dari awal." Emily meraih gelas. "Siapa kamu?"

"Aku Karina. Karina Rinsa Adharani. Dari Tasik. Pindah ke Bandung pas libur semester karena mama aku nikah lagi."

Emily menggenggam gelas. Ia mendesak, "Cerita dong, kenapa orangtua kamu cerai."

"Nggak tau, udah lama. Pas aku usia sadar, dua-duanya udah cerai. Papa kandung aku nggak nikah lagi. Rumah juga deket sama rumah Mama, jadi sering bolak-balik rumah dua orangtua."

"Mama kerja di mana? Papa kerja di mana?"

"Papa bikin usaha tekstil sih, tapi di sana nggak ada pabriknya. Cuma pusat penjualan, kadang diekspor juga. Kalau Mama sih proyekan, emang ahli perizinan AMDAL."

"AMDAL?" tanya Emily.

"Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Intinya proyekan deh, nggak kerja kantoran," ucap Karina.

"Nggak punya adek atau kakak?"

"Sendiri sih. Baru saudaraan sama Arina aja."

Mendengar namanya dipanggil, Arina menyahut, "Kamu nganggep aku saudara?"

Karina mengangguk.

"Seenggaknya, orangtua kita sekarang sama. Terus sama-sama terjebak dalam hubungan keluarga ini." Karina mengangkat bahu. "Cukuplah buat disebut saudara."

Arina kembali terkulai lemas.

Emily melanjutkan, "Oke. Gimana di Bandung?"

"Gede. Banyak angkot. Nggak suka-suka amat," kata Karina. "Tapi ketemu pacar aku sih, jadi asik-asik aja."

Emily memutar kepala. Ia menyentuh pipi Arina.

"Rin, Karina masuk ke rumah pas hari ulangtahun kamu, kan? Pas orangtua kamu cerai?" tanya Emily.

Arina mengangguk.

"Jadi kamu nyaksiin perceraian orangtua Arina?" tanya Emily.

"Nggak sengaja!" Karina mengangkat tangan. "Aku udah di Bandung dari sehari sebelumnya. Mama yang ngepak baju dan pergi. Pagi-pagi, Ayah jemput dan bawa ke sidang pengadilan. Ibu kandung Arina dateng sendirian dan nggak minta apa-apa, walaupun emang dikasih uang gono-gini. Setelahnya, Ayah sama Mama langsung ke KUA dan daftar pernikahan."

[2/3] PadmasanaWhere stories live. Discover now