/si.pir/
penjaga penjara***
If one of us is chained, none of us are free.
— Solomon Burke
***
Hari perceraian seharusnya dilingkupi hujan, bukan?
Tidak. Pagi itu, Ayah tidak sarapan bersama Arina. Tatkala Arina hendak keluar ke taman untuk menenangkan diri, ia mendapati pintu depan yang terkunci. Ayah tak mengizinkan Arina keluar rumah sama sekali hari itu tanpa kata.
Arina berlari ke ruangan pembantu di belakang. Saat pembantu pun mengutarakan hal serupa, Arina langsung terkulai lemas. Ayah benar-benar tak ingin Arina menyaksikan hari yang naas itu.
Arina langsung kembali ke kamar; menatap jendela kamar yang berteralis. Sayang sekali ia tak dapat melompat keluar sana.
Akhirnya, Arina melangkah ke dapur. Bisa saja Ayah meninggalkan kue ulang tahun di sana, bukan? Bisa saja Ayah akan kembali dengan kado di tangan, bukan?
Arina disambut dengan tumpukan sayur dan buah segar. Buah-buahan yang Ibu selalu kupaskan padanya. Buah-buahan yang menjadi isyarat kasih sayang tanpa kata dari Ibu.
Arina mengambil apel dan pisau. Untuk pertama kali, ia mencoba mengupas apel. Kupasannya terlalu tebal dan bentuk apelnya tak seindah kupasan Ibu.
Di meja makan, ia mengunyah apel. Di tempatnya duduk, ia terisak.
Biasanya, Ibu sudah menyiapkan kue ulang tahun. Biasanya, Ayah dan Ibu tengah menunggu Arina mempersiapkan diri, lalu makan siang di luar. Biasanya, mereka mengutarakan syukur karena ulang tahun Arina jatuh di libur semester, sehingga kebiasaan makan siang di luar tak pernah pupus. Biasanya, Arina berpura menjauh ke toilet dan membiarkan Ayah mencium leher Ibu di belakangnya. Biasanya, pada sore hari, kawan-kawan Arina akan datang ke rumah untuk menyantap kue ulang tahun dan memberikan kado kecil.
Biasanya—
Mentari yang tangguh di cakrawala bahkan tak dapat menyapa Arina. Ia benar-benar sendirian.
Arina menyeret langkah, dengan lunglai membuang kulit apel tebal dan mencuci piring dan pisau sendirian. Ia bahkan memaksakan diri untuk membersihkan diri dan berganti baju, seolah-olah mempersiapkan diri untuk acara makan siang.
Tentunya, pinta Arina terpental. Ia hanya merebahkan diri di kasur.
Sesungguhnya, Arina tak benar-benar sendirian hari itu. Emily, yang peka akan kondisi Arina hari itu, mengetuk pagar. Sayangnya, Arina pun tak dapat keluar rumah untuk menyambut kawannya itu. Akhirnya, mereka hanya bertukar sapa di telepon.
"Rin! Bukain pintu depan dong!" ucap Emily.
"Nggak bisa, Em. Pintu dikunci dari luar. Aku juga nggak bisa keluar."
"Ayah kamu kenapa sih?" maki Emily. "Biarin aja kamu keluar. Padahal pas ulang tahun kamu!"
"Mau gimana lagi?"
"Aku bawa kado sama kue sih. Apa ditinggal aja di pagar?"
Arina bergumam, "Kadonya dikasih di sekolah aja, deh. Kuenya gantung aja di pagar."
"Duh, untung aku cuma bawain bolu biasa. Kalau bawa yang banyak krimnya, pasti meleleh." Emily menghela napas. "Kamu nggak apa-apa?"
"Apa nggak ada pilihan selain berdamai sama keadaan?" tanya Arina.
"Emang ga ada, tapi bukan berarti kamu nggak bisa mengekspresikan perasaan kamu!" Emily berseru. "Aduh, terik banget di luar. Aku pulang ya, kadonya aku kasih di sekolah aja. Kuenya udah aku gantung."

YOU ARE READING
[2/3] Padmasana
RomanceBuku kedua dari trilogi Wanantara. . Dalam bahasa sansekerta, Padmasana berarti 'singgasana'. Satu minggu adalah waktu yang cukup untuk menelan dan memaknai perubahan. Sayangnya, kepala Arina kalut menghadapi realita yang terus berganti. Ayahnya nya...