11. Tepung

5 1 0
                                    

/tê.pung/
1. barang yang lumat-lumat (karena ditumbuk, digiling, dan sebagainya)
2. serbuk yang lumat; bubukan

***

Those bitter memories felt like a wrongly inked tattoo; it sticks to me adamantly even when I want to get rid of it.

― Misbah Khan

***

Tak ada ungkap terkuar setelah Arina menumpahkan kisahnya sore itu. Ghassan pun tak terjun menenangkan Arina yang jelas-jelas kalut.

"Kenapa kamu kesel?" tanya Ghassan.

Arina menyindir, "Siapa yang ga kesel kalau digituin?"

"Bukan gitu." Ghassan menggaruk kepala. "Kenapa kamu ga—apa ya? Sedih?"

"Justru kenapa aku harus sedih?" balas Arina.

"Karena kamu sedih berhadapan sama kejadian semacam ini lagi ketika kamu juga nggak akrab-akrab banget sama Karina?"

"Lebih normal kalau aku marah, dong," ketus Arina.

"Bukan. Duh, gimana ceritanya ya?" Ghassan mengetukkan jari ke meja. "Kaya, seharusnya kamu sedih dan menghindar dari khalayak setelah tau orangtua kamu cerai. Ayah kamu nikah lagi. Ditambah Karina juga jadi satu sekolah sama kamu."

Arina mendesis, "Maksud kamu?"

Ghassan menyandarkan badan ke dinding di belakang kursi. Di saat yang sama, pesanan seblak Ghassan telah selesai. Ghassan meminta satu sendok lagi; mengisyaratkan Arina untuk menyantap satu porsi bersama.

Arina hendak melayangkan protes, namun Ghassan langsung menyerbu, "Oke, deh, pertanyaannya aku balik." Ghassan menyerahkan sendok ke tangan Arina. "Boleh ceritain dari awal? Dari kamu sama ibu kamu tau soal ayah kamu selingkuh."

Arina menelan ludah.

"Ceritanya panjang," Arina menghindar.

"Aku dengerin. Kalau seblaknya kurang, aku beliin lagi. Makan aja sambil cerita."

***

Mei 2012 menyisakan pahit di mulut Arina. Ia ingat sekali hari itu. Sore itu terlalu cerah untuk Arina di kelas sepuluh. Ia baru saja pulang sekolah dengan kertas fotokopi latihan soal ujian akhir semester. Baru membuka sepatu di depan, Ibu membuka pintu rumah sebelum Arina mengetuk.

Hari itu, Arina menatap ibunya yang bermata sembab. Ibu memang bekerja di bank dan pulang lebih dahulu dari jam Arina pulang sekolah, namun, biasanya, baju Ibu telah berganti menjadi daster nyaman. Hari itu, riasan Ibu bahkan belum dihapus dan seragam kerja masih melekat.

"Ibu?" panggil Arina.

Ibu menghamburkan peluk ke badan Arina. Isak dan gemetar menyelubung Arina yang membalas dengan menepuk punggung Ibu.

Senyap.

Tatkala kedua insan mengurai jarak, Arina menangkap Ibu yang tak memegang ponselnya sendiri. Alih-alih, ponsel Ayah duduk manis di sana.

Arina mengambil ponsel Ayah. Ponsel itu selalu tersimpan di saku Ayah, sehingga Arina pun jarang meliriknya. Untungnya, layarnya tak terkunci.

Yang Arina saksikan di ponsel itu bukanlah hal yang mudah dilupakan.

Ia melihat foto. Ia menyaksikan video. Ia melihat pesan BBM.

Pagar terbuka. Ayah masuk ke pagar dengan keresek di tangan, sepertinya sehabis keluar ke sekitar.

[2/3] PadmasanaWhere stories live. Discover now