Episode 49 (taeyjoy)

185 32 1
                                    

Episode 49 : Lee Taeyong Point of view part 2

🌵🌵🌵

Namanya Joy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namanya Joy. Kekasihku selamanya. Gadis manis. Dia adalah seseorang yang kini berada dalam genggamanku setelah sekian lama menghilang.

Dia kekasihku dan akan tetap menjadi kekasihku.

"Kumohon lepaskan aku."

Aku menatapnya sinis. Tak ada kelembutan lagi.

"Setelah apa yang kau lakukan padaku? Cih! Jangan harap."

"Kembalikan Lee Taeyong yang dulu kukenal."

Lee Taeyong masa lalu? Cih!

Mari kuceritakan Lee Taeyong di masa lalu.

Lee Taeyong, begitu kebanyakan orang memanggilku. Aku adalah seorang pemuda biasa berumur 26 tahun, yang telah menyelesaikan pendidikan Magister di kampus ternama dengan mengambil Ilmu Psikologi.

Sebuah ilmu yang sangat mengesankan dan mengagumkan. Seperti itu aku memandang hal tersebut, serta menekuninya sejak SMA. Sedari dulu banyak orang yang memandangku begitu takjub. Mengapa demikian? Karena aku
dikenal sebagai pemuda yang baik, ramah dan sayang semua orang tanpa terkecuali.

Meski aku adalah korban dari perceraian orang tuaku. Benar! Semuanya menganggapku begitu hebat. Mereka beranggapan bahwa aku berhasil keluar dari gelapnya kehidupan anak Broken
Home.

Namun pada kenyatannya, mereka hanya mampu menilai dari luarnya saja.
Enam bulan selepas kelulusanku, aku membuka praktik di rumah. Dengan berbekal nilai yang memuaskan, beberapa sertifikat, serta banyaknya yang mengenalku juga mengamati bagaimana kebaikanku selama ini.

Alhasil, aku berhasil mencuri perhatian sebagian orang yang merasa memiliki gangguan psikologi. Semua itu adalah sebuah perjalanan awal menjadikanku seperti ini dan kembali beralih pada masa laluku.

Kehidupan gelap anak broken home. Sudah bukan hal yang tabuh lagi untuk
diperbincangkan. Kedua orang tuaku bercerai di saat aku memasuki umur 7 tahun.

Bayangkan, bagaimana malangnya seorang anak kecil yang masih polos dihadapkan pada permasalahan orang dewasa yang bahkan sama sekali tak dimengertinya.

Begitulah yang kurasakan, terkadang di saat Ayah menyiksa Ibu dengan kejam, aku hanya diam di dalam kamar. Menutup telinga dan menangis tanpa suara.
Tak jarang pula aku menyakiti diri sendiri, padahal saat itu umurku baru menginjak angka ketujuh namun penderitaan telah datang menyapaku.

Selepas perceraian, Ibu pergi meninggalkanku. Kemudian aku hidup bersama Ayah beserta kekejamannya. Setiap hari beliau hanya mabuk dan main wanita. Tak ayal itu semua membuat Ibuku ingin bercerai, dan penyiksaan serta kekejamannya selalu menjadi
pemandangan biasa di dalam rumah sejak Ibu pergi.

Semua itu benar-benar membuatku
frustrasi dan menderita seorang diri tanpa diketahui oleh siapa pun. Selama bertahun-tahun aku terpuruk, menghadapi perlakuan Ayah yang terkadang sangat tidak manusiawi. Hingga pada saat beranjak remaja, aku mengalihkan semua rasa frustrasiku
pada sebuah buku. Buku yang justru berhasil membuatku menemukan dunia baru dan kepribadian baru.

Aku masih mengingat dengan jelas buku pertama yang begitu berkesan
dalam hidupku. Buku itu berjudul The Murderatthe Vicarage (1930), yang ditulis oleh seorang penulis yang sangat terkenal hingga mampu mendunia dengan karya-karyanya yang berbau kematian.

Sejak saat itu, aku selalu membaca buku-buku berbau kematian, pembunuhan dan segala hal yang menyiratkan sebuah penyiksaan. Tak pernah ada ketakutan, justru aku menikmati semua itu.
Bukan hanya buku berbumbu adegan pembunuhan dengan segala hal sadis di dalamnya, aku juga mengumpulkan beberapa buku tentang psikologi.

Saat itu aku begitu tertarik dengan
kondisi kejiwaan seorang pembunuh.
Hingga pada suatu malam, aku kalap. Emosi menguasai jiwa dan ragaku dan benar-benar membuatku mempraktikkan semua bacaan yang telah kubaca selama ini.

Aku membunuh seseorang, dan orang itu... adalah Ayahku sendiri.

Malam itu hujan turun dengan derasnya. Seperti biasa aku bergumul dengan beberapa buku tebal di dalam kamarku di lantai dua.
Meski di luar hujan sangat deras, namun kericuhan di dalam rumah tetap terdengar. Kamarku tidak kedap suara, dan aku mendengarkan semuanya.Itu semua... sangat mengganggu.

Saat itu, Ayah kembali bertengkar dengan salah satu teman kencannya. Entah karena masalah apa, sesungguhnya aku tak peduli. Namun makin lama, mereka semakin mengganggu ketenanganku. Berbagai macam suara ada kala itu, seperti pecahan kaca, teriakan, bentakan,
tangisan bahkan desahan. Benar-benar menjijikkan.

Aku turun dari lantai dua, bermaksud untuk memperingatkan mereka agar diam atau setidaknya menyelesaikan masalah di luar saja. Karena sesungguhnya mereka sangat menggangguku.

Suara-suara itu belum hilang. Sampai pada tangga terakhir, aku terkejut. Di sana, Ayah menindih dan mencekik seorang wanita dengan busana hampir terlepas dari tubuhnya.

“Apa Ayah sudah gila hah!!?” seketika aku berlari dan mendorong Ayah hingga terjatuh.

Aku menatap ke arah wanita itu, lehernya sangat merah. Ayahku benar-benar gila. Kemudian aku mengisyaratkan jalang itu pergi dari rumah ini.

“Jangan campuri urusan Ayah dan kembali ke kamarmu!” bentaknya dengan suara yang mulai serak. Emosinya meluap. Dirinya hendak mengejar jalang itu namun dengan cepat aku
menghalanginya.

“Tidak sebelum Ayah berhenti. Kau bisa membunuhnya!!”

“Kau terlalu banyak bicara. Ayah bilang kembali ke kamarmu!”

“Ayah mabuk! Sadarlah! Ayah hampir membunuh jalang itu!”

“Dia bukan jalang! Dia—“

“Jalang Ayah! Dia jalang. Sadarlah!”

“Iya! Benar. Dia jalang. Seperti Ibumu! Puas?”

Aku tersentak. Lidahku kelu. Mendengar Ayah menghina Ibu, batinku bergejolak. Tanganku terkepal. Aku melemparkan tatapan tajam pada tua bangka yang benar-benar tidak tahu diri itu.

“Apa Ayah bilang? Jalang? Beraninya Ayah menghina Ibuku! Apa yang... apa yang ada di pikiran Ayah selama ini HAH!!?” teriakku dengan suara tertahan.

Aku terdiam sejenak, kemudian menatap Ayah yang juga menatapku dengan tajam.

“Ternyata Ibu benar, Ayah tak
lebih baik dari seorang bajing—“

BUGH!

Sebuah pukulan melayang di wajahku. Ayah memukulku untuk pertama kalinya. Dapat kulihat wajahnya memerah, nafasnya memburu. Mabuk membuatnya benar-benar lupa segalanya.

Berselang beberapa detik, emosi menguasai hatiku. Saat itu aku tak terima, batinku terlanjur sakit menerima penghinaan Ayah pada Ibu.

Aku kalap dan...

PRANG!! (Minta tolong direvisi. Saya tidak tahu suara pecahan botol )

Sebuah botol bir yang tak jauh dari jangkauan kulemparkan tepat di kepala Ayahku. Seketika beliau terjatuh dan pingsan. Nafasku masih memburu, tanganku gemetar, pandanganku jatuh
pada pecahan botoh yang masih ada di tangan kananku.

“Ya Tuhan...” gumamku pelan.
Kemudian aku jatuh terduduk, melempar pecahan botol tadi dan menatap datar ke arah Ayah yang tergeletak bersimbah darah.

Cairan segar berwarna merah itu terus keluar kepalanya. Darah itu begitu kuperhatikan dengan saksama. Sangat menarik, aku menyentuh dan
membauinya. Aroma anyir begitu mendominasi, lalu aku menjilatnya. Ah... rupanya seperti ini rasa darah. Tak jauh berbeda dari deskripsi dalam buku yang pernah kubaca.

Malam itu... kuhabiskan waktu dengan memperhatikan Ayahku yang tak kunjung sadar. Mungkin pengaruh alkohol juga yang membuatnya lama sadarkan diri. Lalu sebuah pemikiran terlintas di benakku.

Bagaimana jika kubuat bajingan ini tak sadar selamanya?

Oke itu terdengar sangat gila dan aku melakukannya.

___

tbc

Part 3 nyusul

a day with park sooyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang