31 (trauma fahri kambuh)

1.4K 76 30
                                    

Trauma yang ditimbulkan oleh orang terdekat memang sulit dihilangkan. Begitu pula dengan luka yang masih membekas dalam ingatan Fahri. Sejak kecil, dia selalu dituntut untuk sempurna dalam segala hal oleh kedua orangtuanya. Tekanan itu meninggalkan jejak yang dalam, dan terkadang traumanya muncul di saat yang tidak tepat seperti hari ini.

Fahri tengah menghadiri rapat penting bersama klien besar, tetapi pikirannya justru melayang jauh. Suara bentakan kedua orangtuanya kembali berputar di kepalanya, menghantamnya tanpa henti.

"Fahri, kau harus jadi anak yang sempurna!"

"Kau tidak boleh gagal, tidak ada alasan untuk lemah!"

"Jika kau tidak bisa mencapai ekspektasi kami, lebih baik kau tidak usah hidup!"

Napas Fahri memburu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha tetap terlihat tenang di depan semua orang. Namun, bayangan masa lalunya semakin menguasai pikirannya.

"Maaf semuanya," suara Fahri sedikit bergetar. "Saya kurang enak badan. Kita lanjutkan pembahasan ini minggu depan."

Tanpa menunggu respons, Fahri segera bangkit dari kursinya dan keluar dari ruang rapat. Bukannya kembali ke ruangannya, dia justru melangkah menuju parkiran. Dengan gerakan cepat, Fahri masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya tanpa tujuan pasti atau mungkin, dia tahu persis ke mana dia akan pergi.

Di sisi lain, Deva baru saja tiba di kantor sang ayah. Begitu masuk ke ruangan Fahri, alisnya langsung berkerut. Tidak biasanya ruangan ini kosong di jam kerja.

Deva segera bertanya kepada sekretaris ayahnya. Perempuan itu menjelaskan bahwa Fahri tiba-tiba meninggalkan rapat dengan wajah yang pucat pasi. Kekhawatiran langsung menyelinap ke dalam hati Deva.

"Kalau bukan ke pemakaman, dia mau ke mana lagi?" pikir Deva.

Tanpa membuang waktu, Deva bergegas menuju tempat yang sudah dia duga pemakaman tempat mendiang ibunya beristirahat.

Langit sore mulai meredup saat Deva tiba di pemakaman. Benar saja, sosok sang ayah berdiri diam di depan makam Bella. Matanya menatap kosong pada batu nisan istrinya, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang sudah tidak bisa menjawabnya lagi.

Wajah Fahri tampak lebih pucat dari biasanya, dan Deva bisa melihat ada jejak darah di hidungnya. Deva menelan ludah, mencoba menahan emosinya saat melihat kondisi sang ayah yang begitu rapuh.

Sementara itu, Fahri tetap berbicara, seolah Bella masih ada di hadapannya.

"Sayang… traumaku muncul lagi. Aku benci ini. Sejujurnya, aku tidak pernah sepenuhnya memaafkan kedua orangtuaku dan Aldo."

"Luka yang mereka torehkan begitu dalam, membuatku jadi seperti ini."

"Sosok kakak yang seharusnya melindungiku, justru menjadi penyebab segala rasa sakitku dulu."

"Aku berusaha melupakan semua bentakan mereka, tapi aku tidak bisa, sayang."

Fahri mengusap wajahnya, air matanya terus mengalir. Suaranya semakin lirih.

"Sejak aku keluar dari rumah mereka, aku harus berkonsultasi dengan psikiater hingga sekarang."

"Papa dan Mama mungkin punya niat baik saat mendidikku, ingin aku menjadi anak yang pintar. Tapi, kapasitas otakku tidak sekuat yang mereka harapkan. Aku sering mimisan karena belajar terlalu keras, sayang."

Fahri terdiam sesaat. Napasnya tersengal, tapi dia tetap melanjutkan.

"Aku berharap putraku tidak mengalami trauma seperti diriku. Tapi ternyata, jalan hidupnya sama sepertiku."

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang