30 (bukber)

1.6K 98 99
                                    

Di sebuah restoran, beberapa remaja masih asyik menyantap menu berbuka puasa. Adzan sudah berkumandang beberapa menit yang lalu.

Setelah selesai berbuka puasa, Hamiz berdiri, diikuti oleh teman-temannya. Mereka akan salat Maghrib berjamaah di masjid terdekat. Tak lama, Deva menaruh beberapa lembar uang berwarna merah untuk membayar.

Mereka berjalan menuju masjid terdekat. Kali ini, yang menjadi imam salat Maghrib adalah Hamiz. Memang di antara mereka berdua, Deva dan Hamiz yang paling sering menjadi imam.

Selesai salat Maghrib, mereka masih berada di masjid. Deva hanya bisa mendengarkan suara ibu-ibu sahabatnya. Hal ini kadang membuat Deva merasa iri, karena dia tidak memiliki seorang ibu.

"Bang Dev, kenapa sedih?" tanya Atha.

"Merindukan Mama," jawab Deva dengan suara pelan.

"Tante Bella pasti bangga punya anak soleh sepertimu," ujar Hamiz menenangkan.

"Iya," sahut Deva singkat.

Mereka melanjutkan salat berjamaah bersama yang lain. Setelah itu, mereka duduk, dan Sandy mengambil beberapa Al-Qur'an. Mereka berdatarus bersama-sama sambil menunggu waktu salat Taraweh.

Benar kata pepatah, jika kita bergaul dengan orang baik, kita juga akan terbawa kebaikan. Leo adalah playboy, Sandy tak jauh beda dengan Leo, Rian anak yang sering gibah, Irsyad si pelawak receh, Hamiz yang dianggap pak Ustadz oleh mereka, Atha yang paling kecil di antara mereka semua, dan Deva yang dijuluki kulkas berjalan.

Tepukan di pundak mengalihkan perhatian Deva. Seorang pria paruh baya tersenyum padanya. Deva yang paham, melirik jam dan menyadari bahwa waktu salat Isya sudah tiba.

"Aku saja, Paman," ujar Deva dengan sopan.

"Silakan, anak muda," jawab pria itu.

Deva pun mengumandangkan adzan. Semua sahabatnya tersenyum, memberikan tanda hormat. Setelah salat Taraweh selesai, Deva mengantarkan Leo pulang ke rumahnya. Ia berniat menuju kantor sang ayah. Fahri memberi pesan bahwa hari ini dia akan lembur.

Perusahaan Fabel yang didirikan oleh Fahri berkembang pesat. Fahri telah mempertaruhkan segala yang dimilikinya sejak muda, bekerja keras tanpa kenal lelah. Kerja keras itu membuahkan hasil, menjadikannya sukses di usia muda dan mampu mendirikan perusahaan sendiri. Deva sangat bangga memiliki ayah sehebat Fahri.

Koridor kantor tampak sepi, wajar karena sudah lewat jam pulang kantor. Setiap bulan puasa, Fahri mewajibkan seluruh karyawan pulang tepat pukul empat sore. Di luar bulan puasa, mereka bebas lembur hingga jam lima sore.

Namun, Deva mendengar suara bernada tinggi dari ruang Fahri. Ia mengenali suara itu lagi-lagi namanya yang terbawa dalam perbincangan yang tidak ada kaitannya dengan dirinya. Pemuda itu berdiri diam di depan ruangan ayahnya. Ia tak berniat membuka pintu sama sekali. Luka di hatinya kembali terasa, luka yang datang dari orang yang seharusnya memberikan perlindungan, dari orang yang memiliki hubungan darah dengannya.

"HENDRA HARUSNYA KAU BUANG DIA SEJAK KEMATIAN BELLA!" teriak Rahmat, suaranya penuh kemarahan.

"DEV DARAH DAGINGKU PAH!" sahut Fahri dengan suara serak, penuh emosi.

"DIA PEMBUNUH ISTRIMU!" bentak Rahmat dengan keras.

"BELLA MATI KARENA TAKDIR!" balas Fahri, suaranya semakin meninggi, menentang tuduhan itu.

"KALAU KAU TIDAK MAU MENYINGKIRKAN BOCAH ITU MAKA AKU YANG AKAN MEMBUNUHNYA!" Rahmat mengancam dengan suara yang penuh kebencian.

Deva memegang dadanya, rasa sesak itu kembali hadir. Kehadirannya dianggap sebagai aib, bahkan disebut pembunuh. Langkahnya pelan, dia menjauh sedikit dari pintu ruangan Fahri, merasakan bagaimana perasaan bersalah itu datang begitu saja.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang