Saat bulan puasa, Deva merasa sedikit bingung. Tugas sekolah mengharuskan dia meminta tanda tangan Imam masjid untuk buku kegiatan salat taraweh, tetapi yang setiap hari menjadi Imam itu adalah ayahnya sendiri, Fahri. Kadang-kadang, Deva juga diminta menjadi Imam untuk salat taraweh. Namun, dia merasa tidak mungkin untuk meminta tanda tangan ayahnya sendiri untuk halaman yang berisi kegiatan salat jamaah taraweh.
Deva menatap buku kegiatan Ramadhan yang belum terisi tanda tangan Imam masjid. Meskipun demikian, dia tidak pernah melewatkan salat taraweh berjamaah setiap hari, bahkan saat ayahnya sakit dan terpaksa dibawa ke rumah Roy agar tidak diganggu oleh orang tua kandung Fahri.
Tiba-tiba, sebuah tepukan di pundaknya mengalihkan perhatian Deva dari bukunya. Dia menoleh dan melihat Fahri sedang tersenyum padanya. Fahri sudah sehat kembali, meskipun dua hari sebelumnya Deva harus mengurus ayahnya yang sakit.
"Melamunkan apa nak?" tanya Fahri, melihat Deva yang masih terpaku pada buku kegiatan Ramadhan itu.
"ASTAGFIRULLAH!" Deva terkejut saat mendengar suara ayahnya. "Argh, Papa bikin kaget aja!" keluh Deva.
"Habisnya melamun terus," jawab Fahri, tersenyum kecil.
"Imam masjid kan Papa setiap hari, masa aku minta tanda tangan Papa sih?" keluh Deva, mengungkapkan kegelisahannya.
"Lantas kenapa kalau Papa yang tanda tangan?" tanya Fahri, sedikit bingung.
Deva memberikan buku itu kepada Fahri untuk ditandatangani. Setelah menandatanganinya, Fahri mengembalikan buku itu kepada Deva.
"Papa, kenapa mau jadi Imam di masjid?" tanya Deva, penasaran.
"Awalnya Papa menolak, nak. Sejak seumurmu dulu, Opa sering ngajak Papa ke masjid tiap waktu salat. Papa dulu bercanda sama Opa, bilang pengen jadi Imam masjid," jawab Fahri, mengenang masa lalu.
"Eh, dari ucapan bercanda Papa malah dikabulin Allah," kata Deva, merasa terkejut sekaligus kagum.
"Suatu hal yang baik akan kembali menjadi baik juga, nak. Begitu pula sebaliknya," jawab Fahri bijak.
Deva kemudian berpindah topik. "Baju lebaran Dev kapan dibeli?" tanyanya.
"Puasa aja belum selesai, nak," jawab Fahri.
"Sebentar lagi lho. Deva mau pakai baju koko merah biar semangat!" seru Deva dengan ceria.
"Iya, baju warna merah," jawab Fahri, mengangguk setuju.
"Bajuku di laundry udah diambil belum?" tanya Deva.
"Nanti juga diantar kalau sudah selesai," jawab Fahri.
Minggu lalu, karena malas mencuci, Deva menyerahkan tugas mencuci baju kepada laundry. Ayahnya melarangnya mencuci sendiri karena takut kelelahan, sementara Fahri juga sangat sibuk dengan pekerjaan. Deva pun meminta untuk berlibur ke kampung halaman kakek buyutnya di Belanda setelah puasa selesai.
"Assalamualaikum, permisi. Saya kurir laundry!" seru seorang pria.
"Waalaikum salam," jawab Fahri dan Deva serentak.
Deva pun berjalan menuju pintu depan, diikuti oleh Fahri. Ketika pintu dibuka, mereka melihat seorang pria dewasa yang tampaknya seumuran dengan Fahri. Pria itu tersenyum ke arah Deva, namun senyum itu tidak dibalas oleh Deva.
"Maafkan sikap putraku ya, a," ujar Fahri merasa tidak enak dengan tingkah Deva yang terlampau cuek terhadap orang lain.
"Eh, saya kira aa berdua tuh kakak beradik," kata kurir laundry itu, bingung.
"Bukan, a. Saya ayahnya, mungkin karena saya menikah muda, jadi umur saya nggak terlalu kelihatan tuanya," jawab Fahri sambil tersenyum.
"Umur berapa a nikahnya?" tanya kurir laundry.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...