Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, seorang pria bernama Roy tengah menunggu kedatangan seseorang. Ia tersenyum saat melihat sosok yang ditunggunya akhirnya muncul.
"Ayah!" pekik Anisa.
Anisa Mashel Nazafarin, putri tunggal Roy dan sang istri, Isma. Gadis cantik berusia 22 tahun itu memiliki wajah yang lebih mirip sang ayah, bahkan ibunya sering protes akan hal tersebut, meskipun tak bisa berbuat apa-apa.
"Anak cantiknya ayah," ujar Roy, membuka kedua tangannya.
Roy langsung memeluk Anisa erat. Sudah beberapa bulan mereka tidak bertemu karena kesibukan kuliah Anisa.
"Kabar semuanya bagaimana, Ayah?" tanya Anisa setelah melepas pelukan.
"Kita bahas di rumah saja," sahut Roy.
Anisa mengangguk menurut. Mereka pun segera meninggalkan bandara. Anisa hanya membawa tas ransel kecil karena ia bukan tipe gadis yang suka membawa barang-barang yang tidak terlalu berguna.
Di waktu yang sama, Deva tengah kesulitan keluar dari area sekolah karena dikerumuni fansnya. Dulu hanya satu sekolah saja yang mengenalnya, tapi sekarang bahkan orang-orang dari luar sekolah datang hanya untuk melihatnya.
Kesal karena tak bisa keluar, Deva memutuskan untuk memundurkan mobilnya. Ia tahu jalan pintas keluar dari sekolahnya tentu saja, karena ia adalah pemiliknya.
Cara itu berhasil. Ia akhirnya keluar dari lingkungan sekolah, kali ini sendirian. Irsyad dan Sisi tidak bersamanya; Sisi dilarang satu mobil dengannya oleh Sam, kakaknya, sementara Irsyad tadi sudah dijemput oleh kakak kembarnya.
Deva menghela napas kasar saat menatap jalanan Kota Bandung yang ramai. Fahri memang selalu memenuhi kebutuhannya, tapi tetap saja rumah terasa sepi jika sang ayah tidak ada.
"Ke taman sebentar sepertinya tidak masalah," gumam Deva pelan.
Sebenarnya, Fahri sudah menyuruhnya segera pulang, tapi Deva hanya ingin menghirup udara segar di taman sebelum kembali ke rumah.
Siang itu, taman kota tampak lengang, mungkin karena udara yang cukup terik. Deva duduk di bangku taman, memperhatikan interaksi antara seorang ibu dan anak dari kejauhan. Pemandangan itu mengingatkannya pada kenangan masa kecilnya sesuatu yang kini hanya bisa ia simpan dalam hati.
"Daripada mellow, mending ke rumah Mama saja," gumam Deva.
Deva bangkit dari duduknya dan berjalan menuju parkiran. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri di samping mobilnya, menangis dalam diam.
Ia mengernyit, menatap gadis itu tanpa ekspresi. Lalu, tanpa basa-basi, ia berkata dengan nada datar, "Menyingkirlah dari mobilku. Sesakit apa pun masalahmu, mengadulah kepada Tuhan yang kau percayai."
Setelah mengatakan itu, Deva langsung masuk ke mobilnya tanpa menoleh lagi. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah dengan gadis lain cukup Karina saja, tidak perlu yang lain.
Karina masih berusaha mendekatinya, tapi Deva selalu menganggapnya angin lalu. Ia tahu Karina tidak bersalah atas kesalahan ibunya, tapi tetap saja, perasaannya terhadap gadis itu tidak pernah ada.
Di rumah abadi Bella dan adiknya, saat ini ada sosok lain di sana. Deva mengenali postur tubuh itu—sosok yang telah merawatnya selama ini.
Tanpa berpikir panjang, Deva langsung memeluk tubuh itu dengan erat, membuat orang tersebut sedikit terkejut. Namun, tak lama, ia merasakan ciuman bertubi-tubi di puncak kepalanya.
"Mengunjungi Mama?" tanya Fahri dengan suara lembut.
Ya, dia Fahri. Entah kenapa, sosok ayah bagi Deva itu berada di sini. Deva menangkap jelas raut kelelahan di mata teduhnya. Pasti Fahri ingin sedikit berbicara dengan mendiang istrinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/320481696-288-k507816.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...