"Apa arti kesibukkanmu di dunia jika tidak untuk memperbaiki kehidupmu di akhirat kelak."
-
Allahuakbar ... Allahuakbar ...Lantunan adzan subuh telah Hadwan kumandangkan dengan khidmat. Memanggil para warga setempat agar melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam. Para warga yang mendengar suara merdu dari Hadwan pun segera berdatangan ke masjid.
Usai mengumandangkan adzan, Hadwan berdo'a lalu melaksanakan sholat qobla subuh. Melihat para jama'ah sudah terkumpul, sholat subuh pun di laksanakan dengan cara berjama'ah tanpa ada gangguan apapun.
Satu persatu para jama'ah keluar dari masjid untuk menjalankan rutinitasnya di pagi hari. Sedangkan Hadwan dan teman-temannya kembali ke pondok untuk menimba ilmu.
Namun setelah bubar dari masjid, langkah Hadwan di tahan oleh Robih Hakimul Karim— Abi-nya.
"Hadwan, pulang sama Abi sebentar ke rumah. Abi mau berbicara sama kamu," ucap Robih mengingat jarak rumahnya dan pondok pesantren Hadwan berdekatan.
Hadwan menatap Abi nya heran. Namun belum sempat ia bertanya, tangannya sudah di tarik oleh Abi agar segera pulang ke rumahnya.
Setelah keduanya sudah berada di rumah, Hadwan duduk di kursi ruang tamu, berbarengan dengan Fatimah- Umi-nya yang duduk di sebelah kursi dekat pintu dapur.
"Abi ngajak Hadwan pulang ke rumah ada apa? Tidak biasanya Abi seperti ini?" tanya Hadwan penasaran.
Robih menghela napas panjang. Menepuk pundak Hadwan dengan senyuman tipis. "Abi mau pindahkan kamu ke pondok temen Abi. kamu sudah beranjak dewasa, tidak pantas jika masih bergaul dengan anak-anak SMP yang berada di pondok Pak Kiyai Hanan, mereka tidak sepadan dengan kamu."
Hadwan menyipitkan matanya, bingung. "Apa maksud Abi? Bukannya mengaji tidak memandang usia? Lagi pula aku tidak malu menimba ilmu bersama mereka, toh aku di amanati untuk belajar sambil mengajar."
"Memang tidak ada batasan dalam hal mencari ilmu. Akan tetapi kamu harus mempunyai wawasan yang luas, umur kamu juga sudah menginjak dewasa, sudah saatnya kamu menggali ilmu lebih dalam di kalangan para pelajar yang seusia denganmu."
Hadwan terdiam membisu, mengingat pondok pesantren yang ia tempati hanya mengajari kitab Tajwid dan hafalan Tahfidz Qur'an saja, membuatnya merenung lama.
"Abi benar, Hadwan. Kamu harus melanjutkan pendidikan keagamaan kamu lebih luas. Apalagi nantinya kamu akan menjadi Imam untuk keluargamu kelak." Kini Fatimah ikut memberi usulan.
"Na'am Umi, tapi kapan Hadwan akan pindah pondoknya?"
Robih tersenyum. "Besok Abi sama kamu minta izin sama Pak Kiyai Hanan untuk memindahkan kamu ke pondok temen Abi. Sekalian minta ridho darinya agar kamu mendapatkan syafa'at dari beliau, selama ia mengajarimu belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu."
"InsyaaAllah, Abi."
****
Disisi lain Zaid Arqam— Abah pondok pesantren Al-Munawaroh tengah mengejar-ngejar anak bungsunya yang baru saja kabur dari pondok. Para santriwan serta satriwati hanya bisa menonton aksi kejar-kejaran tersebut karena takut dengan keduanya.
Yang pertama mereka takut jika ia menolong Abah Zaid untuk menangkap anak bungsunya, mereka akan habis olehnya. Akan tetapi jika ia tidak membantu, maka hafalan lah yang menjadi sasarannya.
"ZAHIRAH! BERHENTI KAMU!" teriak Zaid membuat semua orang yang berada di pondok menutup telinganya rapat-rapat.
"Nggak mau Abah! Ntar kalo Zahirah berhenti pasti Abah kunciin Zahirah di kamar. Zahirah mau main Abah! Zahirah pusing baca kitab gundul terus!" teriaknya berusaha memanjat gerbang pondok pesantren yang berjulang tinggi di dekat masjid.
Zaid memijit pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut. Melihat bayang-bayang Zahirah yang sudah lolos dari kejarannya membuat Zaid mendesah gagal.
"Udah Abah, Zahirah sudah keluar dari gerbang. Mungkin dia udah lari ke kampung sebelah." Asma Dzikra Shadiqah, anak kedua Zaid yang baru saja keluar dari toilet perempuan.
"Iya Abah, jangan lari-larian terus. Nanti sakit jantungnya kumat, malu juga diliatin anak didik kamu kalau setiap harinya ada iklan kejar-kejaran seperti ini," ucap Mahirah—istri dari Zaid Arqam.
"Maluan mana yang mempunyai anak kandung yang tidak bisa di atur?"
Mahirah dan Asma terdiam bungkam. Keduanya saling memandang satu sama lain hingga akhirnya Asma mendekati gerbang pondoknya.
"Atagfirullah, Zahirah! Nekat banget sih kamu. Sampe gerbang segede gini juga di panjatin," ujar Asma mengedipkan matanya berulang-ulang kali. Tidak habis pikir dengan kelakuan adiknya yang badgirls itu.
Zaid menghela napas panjang, mengamati gerbangnya yang lumayan tinggi, melirik pohon yang berada di sebelahnya dengan senyuman tipis. "Sepertinya Abah akan meninggikan gerbangnya, dan menebang pohon ini agar Zahirah tidak bisa memanjatnya dengan mudah."
Mahirah mengangguk, menyetujui. "Usulan Abah ada benarnya juga. Tapi Ummah takut Zahirah akan kecewa sama kita, karena terlalu mengekangnya."
"Dia pantas di kasih pelajaran seperti itu agar ia jera. Terkadang kita harus mendidik anak-anak kita dengan cara yang tegas agar ia menyesali perbuatannya di kemudian hari." Zaid membalikkan badannya, berniat kembali ke pondok untuk menghilangkan kegelisahannya.
Asma menundukkan kepalanya, sopan. "Asma kembali ke pondok ya Ummah, mau lanjutin menghafal Al-Qur'an. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumsalam."
****
21-Maret-2023
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Teen FictionKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...