[20] Surat Cinta.

505 47 0
                                    

"Jika hati sudah terkunci untuk satu bidadari. Ia tak akan mengenal cinta dari wanita lain lagi."

-

Hadwan duduk ditepi ranjang kamar asramanya. Aiman, Fathan, dan Muzaki yang menjadi teman satu kamar Hadwan sudah tertidur pulas. Lambat laun Hadwan membuka selembaran kertas yang di lipat menjadi empat bagian.

Senyuman manis terukir di bibirnya, ketika bait demi bait kata yang tertulis di kertas itu, ia baca dengan debaran jantung yang menggila.

Imamku ... aku mengagumi dirimu sejak lama. Sejak pertama aku bertukar cerita denganmu.

Sadar atau tidaknya dirimu
Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan.
Bermimpi kamu membalas perasaanku.

Tapi aku tidak ada keberanian untuk berbicara kepadamu langsung, karena aku pengecut. Aku takut, dan aku khawatir kamu hanya menganggapku wanita rendahan.

Aku hanya mampu menulis surat ini untukmu. Aku tau, surat ini tidak ada apa-apanya. Tapi ketahuilah, Kang...

Aku mencintaimu ... afwan, Assalamualaikum ...

"Wa'alaikumsalam," jawab Hadwan meletakkan surat tersebut di dadanya. Lalu ia berbaring, menatap langit-langit kamarnya seraya membayangkan wajah usil dari Zahirah.

"Menggemaskan," gumam Hadwan tanpa sadar ia tersenyum. Menutup matanya, berdo'a sebelum masuk ke alam bawah sadarnya.

****

Pagi harinya Zahirah datang ke kamar Asma. Ternyata perempuan itu sedang sibuk menulis di atas meja belajarnya, Zahirah terkekeh ketika ia mengintip di samping Asma.

"Cie-cie ... Teh Asma. Beda banget ya, kalau lagi kasmaran semua kertas diisi rambu-rambu perbucinan."

Asma melotot kaget mendengar sindiran dari Zahirah. Spontan ia menutup bukunya, berbalik berhadapan dengan Zahirah yang sudah duduk manis di atas kasur.

"Kapan kamu dateng, Dek?"

Zahirah memutar bola matanya malas. "Tuh 'kan, saking fokusnya nulis surat. Sampe nggak nyadar kalau aku datang dari tadi."

Asma tersenyum kikuk. "Ya lagian kamu nggak ngucapin salam, malah main nyelonong aja masuk kamar aku."

"Udah kebiasaan hehe ..." Zahirah menggaruk-garuk tengkuk lehernya, bingung mau menanggapinya dengan cara apa.

Asma menggelengkan kepalanya, hendak menyimpan surat yang baru saja ia robek dari buku miliknya. Namun belum sempat disimpan, Zahirah sudah lebih dulu merebutnya.

"Zah!"

"Ini buat Kang Hadwan 'kan? Biar aku kasih sekarang, ya. Mumpung masih pagi, lebih semangat untuk beraksi," ujar Zahirah tanpa menunggu persetujuan dari Asma, gadis itu keluar dari kamar kakaknya.

Asma melotot melihat Zahirah yang tampak antusias untuk memberikan surat miliknya. "Aduh Zah! Masih pagi ini!"

Zahirah menghiraukan teriakan Asma. Ia semakin mempercepat langkahnya, hingga sampai di depan masjid.

"Kang! Eh, Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam, kenapa lari-lari Teh?" tanya Hadwan yang kebetulan sedang menyapu halaman masjid.

Zahirah tersenyum lebar. Memberikan Hadwan selembaran kertas yang sama persis seperti kemarin. "I-ini ..."

Hadwan gemeteran menerima surat kecil dari Zahirah. "I-ini apa Teh?"

Zahirah tersenyum malu-malu. "Sama kayak kemarin hehe ..."

Hadwan tersenyum ragu, ia terlihat salah tingkah di hadapan Zahirah. Bahkan masih pagi seperti ini, ia sudah dibanjiri keringat dingin di area pelipisnya.

Zahirah yang takut digosipin oleh warga santri pun segera memundurkan langkahnya. "Aku pamit ya, Kang. Jangan lupa dibaca!"

Zahirah mengedip-ngedipkan matanya, lalu berlari terbirit-birit sambil menutup wajahnya. Hadwan yang melihat kelakuan Zahirah pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Astagfirullah, Zah." Hadwan mengusap wajahnya kasar. Memasukan kertas lipat itu di dalam saku bajunya.

Tanpa sadar Aiman dan Fathan menyaksikan dengan jelas interaksi keduanya dari sisi selokan masjid.

"Aduh, ada yang lagi kesemsem sama Teteh santri nih!" Sindir Aiman tertawa mengejek.

Farhan yang juga menyaksikan hal itu pun ikut tertawa. "Iya, Man. Mana langsung salting brutal lagi."

Hadwan memicingkan sudut matanya tajam. "Kalian membicarakan saya?"

"Man, kayak ada yang nanya. Tapi siapa ya?" tanya Fathan pura-pura tidak mendengarkan pertanyaan Hadwan.

Aiman yang tau jika Fathan bersandiwara pun mengikuti permainan yang ia buat. "Iya, ya. Kayak ada suara yang lagi marah. Tapi dalam hati jedag-jedug. Siapa ya?"

"Makhluk yang lagi jatuh cinta mungkin, Kang!" seru Aiman tertawa seraya melirik Hadwan yang kini menghela napas sabar.

"Iya mungkin, ya hahaha ..."

Keduanya tertawa puas, sedangkan Hadwan kembali menyapu dengan tangan kiri yang terus mengelus-ngelus dadanya, merapalkan istighfar.

°O°

Lanjut siang oke?!

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang