[12] Amanah.

468 59 3
                                    

"Amanah yang di sampaikan, jika di lakukan dengan keikhlasan. Maka surgalah untuknya."

-

Di rumah sakit Cahaya Indah langkah kaki Hadwan terpijak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di rumah sakit Cahaya Indah langkah kaki Hadwan terpijak. Membuntuti Kholid yang memimpin perjalanan dengan dirinya yang berada di belakang, sedikit menghormati yang lebih tua darinya.

"Hadwan, berjalanlah berdampingan!" perintah Kholid tidak enak jika ia berjalan seperti Guru dan murid. Padahal menurutnya, ia pun sama derajatnya dengan Hadwan.

"T-tidak Ustadz, saya di belakang Ustadz saja." Tolaknya menundukkan kepalanya, menjaga adab.

Kholid menghela napas, hingga keduanya sudah sampai di ruang rawat Zaid Arqam. Mereka pun masuk ke dalam dengan mengucapkan salam bersamaan.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam ..."

Kholid dan Hadwan menyalami punggung tangan Zaid yang terasa lemas. Keduanya di persilahkan duduk di kursi dekat ranjangnya.

"Bagaimana keadaannya, Kiyai?" Hadwan mulai bertanya untuk memecahkan rasa canggung yang kian melanda di setiap relung tubuhnya.

"Alhamdulillah, sudah mendingan. Bagaimana dengan kabarmu di pondok?" tanya Zaid balik.

"Alhamdulillah, Kiyai. Baik."

Zaid mengangguk. "Kamu pasti sudah tahu alasan saya menyuruh kamu untuk datang menemui saya ke rumah sakit, 'kan?"

Hadwan menganggukkan kepalanya, sopan. "Na'am Kiyai, Ustadz Kholid sudah memberitahu sebelumya."

"Alhamdulillah jika kamu sudah tahu. Tidak ada lagi yang harus saya bicarakan panjang lebar. Senang atau tidak senangnya kamu, maafkan kami. Bukan niat untuk memberatkan, tapi kami tidak ada pilihan lain."

"Na'am Kiyai, tidak ada yang memberatkannya sama sekali, selagi amanah itu menjadi perantara untuk meningkatkan ketaqwaan ibadah bagi diri saya pribadi, dan yang lainnya. InsyaaAllah."

Zaid menepuk pundak Hadwan. "MashaaAllah, pemuda langka. Syukron jazakallahu Khoiron katsiro."

"Biidznillah. InsyaaAllah." Hadwan menundukkan kepalanya seraya tersenyum, meyakinkan.

Zaid pun ikut mengangguk. "Saya titip anak-anak pondok sama kamu. Dan satu lagi, saya dengar kamu lumayan dekat dengan anak saya, Zahirah. Apa benar?"

Hadwan menggeleng cepat. "T-tidak Kiyai. Kami hanya bertukar sapa seperti anak pondok pada umumnya. Saya tidak menjalin ikatan apapun dengannya."

Zaid tersenyum melihat wajah Hadwan yang berubah panik saat membicarakan gadis bungsunya. "Tenangkanlah dirimu, Hadwan. Saya tidak keberatan, selagi kalian bisa menjaga ikhtilat pandangan serta batasan yang sudah Allah haramkan."

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang