[03] Ponpes An-Nur Hidayah.

695 95 5
                                    

"Kamu tidak akan dapat memperbaiki orang lain jika kamu tidak memulai untuk perbaiki diri sendiri."

-


Kedatangan Robih beserta Fatimah di sambut hangat oleh keluarga Zaid dan para santri yang berada di pondok pesantren An-Nur Hidayah, akan tetapi kedatangan mereka membawa rasa kekhawatiran karena Hadwan yang dibawa oleh Aiman dalam keadaan babak belur.

"Aiman, katakan kepadaku. Siapa yang telah memukuli Hadwan hingga sampai babak belur seperti ini?" tanya Zaid memeriksa tubuh Hadwan dari atas sampai bawah.

"A-afwan. Ana nggak tau siapa yang melakukan perbuatan keji seperti ini Abah. Yang Aiman lihat hanya orang ini yang terkapar tidak berdaya di ujung gang dekat pasar," jawab Aiman dengan jujur. Memperlihatkan barang belanjaan yang baru saja ia beli dari pasar beserta teman-temannya.

Zaid menganggukkan kepalanya. "Sepertinya ini kelakuan tetangga sebelah, mereka semua tidak dapat di percaya. Apalagi dengan lingkungan kampung mereka yang seperti zaman jahiliah."

"Aiman. Tolong bersihkan luka-lukanya," sambung Zaid memerintahkan.

Robih yang berada di sebelahnya pun merasa tidak enak. "Maafkan saya Zaid, kedatangan saya dan keluarga malah merepotkan kalian."

Sudut bibir Zaid terangkat membentuk senyuman tipis. "Tidak apa-apa, Rob. Malahan saya senang mendengar kabar Hadwan yang akan pindah pondok kesini, tetapi saya minta maaf, jika pondok pesantren saya ini banyak sekali kekurangannya."

Robih menepuk pundak Zaid. "Saya tidak keberatan selagi kamu mendidik anak sulungku dengan baik."

Mereka terus berbincang-bincang hingga tidak sadar jika Hadwan telah sadar beberapa menit yang lalu. Ia mulai menggerakkan tangannya yang kaku. "Arghhh."

"Jangan banyak bergerak. Kamu istirahat saja, lukamu cukup parah," ucap Aiman menahan pergerakan Hadwan.

"Kamu sudah sadar, nak?" tanya Zaid.

"Alhamdulillah kiyai," jawab Hadwan masih dalam kondisi lemah.

Tetapi sikap kesopanannya tidak luput dari pandangan mereka, yang kini menyalami tangan Zaid dengan tangan yang masih kaku untuk di gerakkan.

"Umi dimana, Bi?" tanya Hadwan kepada Robih yang berada di hadapannya.

"Di dapur. Mereka lagi memasak untuk makan malam, tuh mereka datang," bukan Robih yang menjawab. Melainkan Zaid yang tahu akan kedatangan istrinya yang baru saja keluar dari dapur.

Hadwan menundukkan kepalanya, sopan. Saat Mahirah dan Fatimah berjalan melewati kursi duduknya.

Mahirah mengajak semua orang yang berada di ruang tamu agar berpindah ke ruang makan. Tidak lupa Mahirah juga mengajak Aiman yang berada di samping Hadwan untuk makan bersamaanya, akan tetapi laki-laki itu menolak karena alasan belanjaannya harus segera di setorkan kepada ketua pondok pesantren.

Setelah semuanya sudah siap di meja makan. Zaid menatap dua kursi yang masih kosong di hadapannya. "Tunggu. Ummah, dimana Kholid dan Zahirah?"

"Itu Aa!" Tunjuk Asma melihat Kholid yang berjalan mendekatinya.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam ..."

Zaid mengangguk. "Dari mana, Lid?"

"Habis beres-beres di masjid. Bekas kajian tadi sore, Bah," jawabnya langsung duduk di kursi yang telah di sediakan.

Robih menoleh. "Ini Kholid? Anak pertama, ya?"

Kholid menganggukkan kepalanya, Zaid yang mengerti pun bangkit dari duduknya, memperkenalkan anak-anaknya satu persatu.

"Benar, Rob. Ini Kholid anak pertama saya. Lalu di sebelahnya Asma, anak kedua saya."

Robih menganggukkan kepalanya mengerti, namun sedetik kemudian ia menatap Zaid kembali. "Loh, bukannya kamu punya anak tiga? Mana yang satunya lagi?"

"Aah ... Iya, Zahirah. Asma tolong panggilkan dia di kamar, Abah hampir lupa memperkenalkannya kepada mereka," Zaid menepuk jidatnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Asma yang mendapatkan perintah dari Zaid pun segera mengangguk, patuh. Berjalan ke arah kamar Zahirah untuk mengajaknya makan malam bersama.

Robih hampir tertawa mendengar ungkapan Zaid saat ini, ternyata masih sama seperti dulu. Selalu lupa dengan sesuatu yang belum terlihat wujud aslinya.

"Nggak ada bedanya, masih pelupa ya, Id." Robih menepuk-nepuk punggung Zaid bergurau.

Zaid hanya tampak tersenyum malu. Tidak lama kemudian Asma datang sambil menarik tangan Zahirah yang sibuk memainkan ponsel miliknya.

Melihat kelakuan Zahirah, Zaid menatap gadis itu tajam. "Zahirah, matikan ponselmu. Tidak sopan jika ada tamu di hadapanmu, dan kamu malah sibuk bermain seperti itu."

Mendengar nada bentakan dari Zaid membuat Zahirah berdecak sebal. Ia mematikan ponselnya, menatap Zaid malas. "Iya, Bah!"

Zaid menghela napas panjang. "Perkenalkan. Zahirah, anak bungsu saya."

Zahirah menyalami kedua tangan Robih dan Fatimah dengan malas. Saat ekor matanya tidak sengaja menatap laki-laki yang berada di hadapannya, kedua bola matanya melotot kaget.

Tiba-tiba Zahirah memundurkan tubuhnya, menjauhi tatapan laki-laki itu yang tampak memperhatikannya, gadis itu membekap mulutnya, shock.

Dalam hati ia berkata. Astaghfirullah ... Mati aku! Dia 'kan orang yang aku rampok tadi.

"k-kamu 'Kan yang-"

Deg!

"A-duh aduh, perut aku sakit banget nih, Bah. Aku izin ke toilet sebentar ya. Maaf semuanya!"

Zahirah lari terbirit-birit meninggalkan ruang makan. Mereka yang memperhatikan gerak-gerik Zahirah yang terlihat aneh pun melongo melihatnya.

Asma mencubit pinggang Kholid. "Zahirah kenapa tiba-tiba sakit perut kayak gitu, Aa' tau nggak?"

"Ya nggak lah, Dek. 'kan bukan Aa' yang ngerasain sakitnya."

Asma menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah. "Eh iya, ya ... Asma lupa."

Kholid berdehem kecil melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda, berbeda dengan Hadwan yang kini terdiam membisu mengingat kejadian yang ia alami tadi sore. Beratnya lagi berkenaan dengan anak ketiga dari Abah Zaid, yang ia ketahui adalah kiyai pondok pesantren itu sendiri.

Dalam hatinya ia bertanya-tanya, Sulit di percaya, anak gadis Kiyai Zaid Arqam adalah seorang gadis perampok?

Jangan lupa buka saum nya dengan yang manis-manis... Nih tak spill manisannya🤗😍


Masya Allah... Manis banget kan senyumannya bikin iman meleleh😁

26-Maret-2023

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang