“Istikharahku memang terkalahkan dengan do'a yang kau panjatkan disetiap waktu. Aku terima, tapi batinku terluka.”
-
Asma mendekati Zahirah yang tampak melamun di sisi jendela kamarnya. Entah sudah berapa hari mereka tidak berbicara, menutup diri di kamarnya masing-masing. Hingga Asma memutuskan untuk berdamai dengan keadaan, walau dalam hati ia begitu menyesakkan.
“Z-zah—”
“Teh Asma!”
Zahirah langsung memeluk tubuh Asma. Menangis terisak di dalam pelukan hangat Kakaknya. “M-maafin aku, Teh. Aku nggak bermaksud buat mempermainkan hubungan kamu dengan Kang Hadwan. T-tapi dia tetap kekeuh dan mau aku jadi pendampingnya. Aku mau menolaknya, tapi aku bingung mau bicara seperti apa sama keluarganya.”
Asma mengusap punggung Zahirah, meneteskan air matanya menahan tangis. “K-kamu orang yang beruntung. Teteh sudah ikhlas, Zah—”
“Apa maksud Teteh?!” Zahirah langsung melepaskan pelukannya, menatap Asma tidak mengerti.
Asma tersenyum, meraih tangan Zahirah. “Teteh sudah mengikhlaskan Kang Hadwan buat kamu. Rasa cintanya begitu besar Zahirah ... a-aku sudah berbicara dengannya kemarin. Aku melihat—”
Asma meneguk ludahnya susah payah, ia mulai terisak. Menatap keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. “A-aku melihat dari sorot matanya ia kecewa. Tapi juga dia tersenyum, saat mengatakan ia hanya mencintai kamu, Zah. Bahkan yang selalu ia panjatkan dalam doa-doanya adalah kamu. Bukan aku ...”
Deg!
Ada rasa senang sekaligus rasa gusar yang datang bersamaan dalam hatinya. Zahirah merasa blank dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“J-jangan batalkan niat baiknya, Zah. Aku tau dia sangat mencintai dirimu.”
Zahirah tertawa hampa. “Apaan sih, Teh. Jangan mengada-ngada. Aku masih kecil, toh disini nggak ada A' Kholid. Mana mungkin aku menikah tanpa ada izin darinya.”
“Abah sudah memberitahukan hal ini sama A' Kholid. Dan beliau bilang, langsung akad saja. Ia tidak akan hadir di hari akadmu, tapi nanti ia akan pulang membawa calon istrinya.”
“A' Kholid —”
“Dia sudah punya perempuan pilihannya dari Mesir,” ucap Asma tersenyum tipis.
Tangannya terangkat mengusap punggung Zahirah. “Aku lebih baik melepaskan orang yang aku cintai, daripada harus menyakiti dan memaksa pilihannya. Zah, aku tau kamu punya perasaan yang sama seperti aku. Bohong kalau kamu tidak cemburu saat aku menuliskan surat-surat untuk Kang Hadwan. Aku tau, Zah. Minggu lalu, selepas kamu memberikan surat itu. Kamu menangis di pojok ruang perpustakaan, ada banyak laporan kamu menangis karena tidak lulus hafalan. Padahal nyatanya kamu cemburu, karena Kang Hadwan menerima surat-surat dariku dengan pandangan berbinar-binar.”
Zahirah merasa sesak di dadanya. Ia memeluk tubuh Asma meminta maaf. “M-maafin Zahirah, Teh. Zahirah nggak bisa bohongin perasaan itu. Teteh memang benar. Sekuat apapun aku menghindar, rasa itu tidak akan pernah hilang.”
Asma tersenyum tipis. “Ini sudah jalan dari Allah. Kita tidak tahu, perasaan yang kita rasakan seperti apa. Karena aku pun pernah merasakannya, Zah. Tapi setelah aku tau dan menelaah perilaku kamu. Teteh yakin, kamu juga mempunyai perasaan lebih sama beliau.”
“Tidak apa. Pertahankanlah selagi ia masih ada, Zah. Kamu tidak terlambat. Ada waktu satu hari lagi untuk kamu memikirkan keputusan ini. Tapi Teteh berharap kamu bisa menerima khitbah dari beliau. Karena jika tidak, aku akan kecewa. Karena kamu sudah menyia-nyiakan seorang imam yang aku idamkan sejak lama. Dia lelaki shaleh dan taat kepada Allah, kamu akan rugi jika tidak memiliki sosok seperti dirinya.”
“Jangan buang kesempatan mendesak ini,” bisik Asma menahan sakit yang ia tahan dalam hatinya.
Bibirnya memaksakan senyum lebar, padahal jantungnya tidak berhenti berdebar. Asma meneteskan air matanya, pasrah akan cobaan yang diberikan Allah kepadanya.
Yaa Allah kuatkan hati hamba, karena sesungguhnya hamba tak rela. Tapi cinta ini terlalu pahit, untuk aku perjuangkan sendiri.
Zahirah tak bergeming. Ia memeluk tubuh Asma erat, entah mengapa ia dirundung kebingungan setelah sekian lama ia mendapatkan jawaban yang serupa seperti minggu lalu sebelumnya.
Perlahan Asma melepaskan tautan tangannya. Ia menatap manik mata Zahirah yang berkaca-kaca. “Hey, jangan menangis. Harusnya aku saja yang menangis, karena gagal memperjuangkan orang yang aku cintai.”
“T-teh—”
“Tapi jangan khawatir. Cepat atau lambat rasa cinta ini akan aku kubur selama-lamanya, apapun demi kebahagiaan dirimu, akan aku lakukan.”
Zahirah menggelengkan kepalanya lemah. “Teteh nggak usah berlebihan kayak gitu, aku jadi nggak enak.”
Asma tertawa renyah di hadapan Zahirah. Melupakan rasa sakitnya yang entah sudah sampai mana. “Teteh beneran, Zah. Aku sudah ikhlas kok kamu sama Kang Hadwan. Lagian jodoh itu ditangan Allah, bukan ditangan hambanya yang lemah ini.”
Zahirah mengerucutkan bibirnya, terdiam beberapa saat. Hingga helaan napas panjang keluar dari mulut mungilnya. Waktu yang ia miliki hanya satu hari, dan besok ia harus menentukan pilihannya, antara 'Iya' atau 'Tidak'.
“Kok ngelamun, Zah? Apa yang kamu pikirkan?”
“A-aku takut, Teh. Aku takut salah langkah ...”
Asma tersenyum, menggenggam tangan gemeteran Adiknya. “Tidak ada yang perlu kamu takuti, Zahirah. Allah yakin kamu orang yang tepat untuk mendampingi hidup Kang Hadwan. Jangan ada keraguan dihati kamu, Teteh yakin seratus persen, Kang Hadwan orang yang baik luar dalam.”
Zahirah menghela napas panjang. Menatap keluar jendela kamar yang sedikit terbuka. Ia mengamati para santri yang sedang bercanda tawa sambil memegangi beberapa lembar kertas hafalannya.
“T-teh—”
“Iya.”
“Malam ini, ajarin aku shalat istikharah, ya.”
Asma tersenyum lebar. “Na'am. Boleh, Zahirah.”
-_-
![](https://img.wattpad.com/cover/337260183-288-k228770.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Teen FictionKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...