[18] Bimbang.

429 42 0
                                    

“Jika roda itu selalu berputar setiap waktu, maka dia pun bisa berubah karena adanya perasaan tidak menentu.”

-

Zahirah melangkahkan kakinya keluar dari area madrasah. Ia baru saja mengikuti kajian sore yang di pimpin oleh Ummah-nya sendiri. Hasna mengajak Zahirah untuk makan bersama di luar setelah beres kajian. Namun sepertinya gadis itu menolak, karena alasan ingin hatam surah An-Naba malam ini.

“Ayo dong, Zah. Kita makan di luar. Lagian kajian sore udahan, paling lanjut malem. Kita makan di luar nggak sampe maleman juga,” bujuk Hasna tetap kekeuh ingin makan di luar.

“Aku males, Na. Nanti juga ada jadwal makan bareng sama santri yang lain. Kalau kamu mau makan di luar ya udah, sendiri aja.”

Hasna mengerucutkan bibirnya kesal. “Ih Zahirah mah gitu!”

Zahirah menghela napas panjang. “Malem ini aku jadwal setoran. Aku nggak mau dapet hukuman dari Abah, nanti tambah banyak hafalanku.”

Hasna mengerucutkan bibirnya kesal. “Hmm ya udah deh, aku mau ngajak Rini aja. Beneran nggak mau makan keluar?”

Zahirah menggelengkan kepalanya, menolak. “Nggak.”

“Oke deh, bye!”

Zahirah tersenyum tipis. Membuka kitab hafalannya, lalu mengulang bacaannya beberapa kali.

Tanpa ia sadari Hadwan lewat di depannya, Zahirah langsung berdiri berniat meninggalkan area madrasah.

“Teh Zahirah!”

Zahirah mengeratkan genggamannya pada kitab yang jurumiah yang berada di pelukannya saat ini. “I-iya ...”

“Kenapa tegang begitu?” tanya Hadwan mengernyitkan dahinya kebingungan.

Zahirah menggelengkan kepalanya. “Nggak papa, Kang. Maaf aku duluan ya.”

Hadwan terdiam menatap punggung Zahirah yang berjalan menjauhinya dengan langkah kaki tergesa-gesa.

Tumben banget ngomongnya kaku gitu, biasanya suka ngegas?

Tanpa mau mengambil pusing lagi, Hadwan melanjutkan langkahnya, menuju aula pengajian yang akan di pimpin olehnya malam ini.

****

Aiman, Fathan dan Hadwan sedang menghamparkan karpet hijau di tengah-tengah aula pengajian. Sebentar lagi kajian akan di mulai. Namun ternyata, karpet yang biasa mereka gunakan kurang banyak.

“Masih kurang bagian sini. Kemungkinan buat tempat duduk warga nggak kebagian. Kang, saya ambil dulu di belakang mushola ya, siapa tau ada sisa.” Fathan menggaruk-garuk tengkuk lehernya bingung jika tidak ada karpet lebih disana.

“Iya banyak yang nggak kebagian karpet. Sepertinya yang di mushola masih kurang. Saya coba cari di ruang madrasah santriwati, siapa tau ada karpet nganggur.”

“Iya, kang.”

Hadwan segera berlari ke ruang madrasah khusus santriwati. Disana terlihat sepi, karena mungkin para santriwati sedang sibuk memasak di belakang.

Tanpa di duga ada Zahirah yang tengah membaca Al-Qur'an di pojok ruangan. Suaranya terdengar merdu, meski lafadz bacaannya masih terpatah-patah.

Hadwan mendekati Zahirah, hendak meminta izin untuk mengambil dua karpet yang berada di balik pintu, dekat ia duduk sekarang.

“Teh, Af—”

“Kang Hadwan! Kenapa bisa ada disini?!” kaget Zahirah langsung berdiri dari duduknya.

“Afwan, Teh. Saya mau pinjam karpet buat di aula. Apa boleh?”

Zahirah melirik Hadwan sebentar lalu menganggukkan kepalanya. “Silahkan.”

“Syukron, Teh.”

Zahirah menganggukkan kepalanya. Saat ia menggeser badannya. Tanpa sengaja ia melihat Asma mantapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Deg!

“Afwan, Teh. Saya mau—”

“Kang Hadwan sebaiknya langsung keluar dari madrasah. Aku takut ada banyak santriwati mengira kita ada apa-apa.”

“Tapi Teh—”

“Kang! Keluar!”

Zahirah mengepalkan tangannya karena Hadwan masih berdiri kaku di hadapannya. Tanpa mengucapkan apapun lagi Zahirah berlalu keluar madrasah, meninggalkan Hadwan yang kesusahan memegangi karpet besarnya.

“Teh Zahirah. Padahal saya mau minta tolong ngangkat karpet. Malah pergi,” gumam Hadwan dengan suara pelan.

Sedangkan Zahirah merasa tidak tenang setelah melihat tatapan Asma yang mengisyaratkan luka terpendam.

Teh Asma pasti salah paham, batin Zahirah.

_____________

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang