[11] Sebuah Ketetapan.

491 65 3
                                    

“Hadiah terbaik adalah apa yang kamu miliki, takdir terbaik adalah apa yang kamu jalani.”

-

Satu bulan di rawat di rumah sakit Zaid Arqam kehilangan sosok dirinya yang kuat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu bulan di rawat di rumah sakit Zaid Arqam kehilangan sosok dirinya yang kuat. Tubuh lemas, kaki yang susah untuk di gerakan serta jantung yang lemah untuk sekedar berdetak.

Keringat panas dingin bercucuran membasahi baju pasiennya. Zaid tidak sendiri, ia ditemani oleh Kholid dan Mahirah. Sedangkan Asma sibuk mengurusi pondok pesantren.

Lalu kemana Zahirah? Entahlah. Sedari kemarin malam gadis itu tidak terlihat di rumah sakit. Kecuali saat menjelang sore hari, ia sering menyempatkan diri untuk menengok Abah nya. Hanya sebentar. Padahal dirinya sudah tidak sekolah, setelah kasus penamparan murid kepada gurunya.

“B-bagaimana perkembangan pondok?” tanya Zaid terasa lemas untuk sekedar berbicara.

“Alhamdulillah Abah. Para santri baik-baik saja. Ummah, Kholid dan Asma yang menjaganya. Mereka juga terus mendo'akan Abah tanpa henti,” ucap Kholid melaporkan perkembangan santri pondok yang didirikan oleh Zaid.

“A-alhamdulillah ...”

Mahirah tersenyum, tangannya turun menggenggam tangan suaminya yang terasa panas dingin. “Abah tenang saja. Fokus sama keadaan Abah saat ini. Jangan banyak pikiran, ya.”

Zaid mengangguk lemah, melirik Kholid yang berada di sampingnya. Laki-laki itu terlihat gelisah, dengan tangan yang tidak berhenti memainkan ujung sorbannya.

“Ada apa Kholid? Kamu tampak tidak tenang.” Zaid merubah posisinya, menengok Kholid.

“Hmm begini Abah ... Alhamdulillah Kholid dapat beasiswa untuk kuliah ke Kairo. Universitas Al-Azhar Mesir. Tapi Kholid tidak tega untuk meninggalkan Abah, apalagi dalam kondisi seperti ini.” Kholid menundukkan kepalanya, biarlah cita-citanya tertunda. Asalkan Abah nya tetap dalam pengawasannya.

Zaid meraih tangan Kholid, merasa bangga. “MashaaAllah, tidak apa, nak. Pergilah. Alhamdulillah do'a Abah dan Ummah terkabulkan.”

“T-tap—”

“Kapan keberangkatan kamu ke Kairo?” tanya Zaid semangat, terlihat dari sorot matanya menggambarkan kebahagiaan yang mendalam.

“Lusa.”

“Bersiaplah dari sekarang, Abah do'akan selalu perjalanan hidup yang kamu tempuh. Pergilah, Abah sangat bangga atas pencapaian kamu selama ini.” Zaid memberikan apresiasi, begitupun dengan Mahirah yang sudah mengetahui kabar itu dari awal, sebelum Kholid menceritakannya terlebih dahulu.

Kholid mencium punggung tangan Zaid berkali-kali, tidak henti-hentinya bersyukur. Tanpa sadar Kholid meneteskan air matanya terharu.

“Syukron Abah, Syukron!”

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang