"Belajarlah, karena seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan pandai. Dan pemilik ilmu itu, tidak sama dengan orang yang bodoh."
-
Para santriwati tengah sibuk berkutat dengan alat masaknya. Zahirah merasa bosan yang hanya bisa melihat, tanpa berniat untuk membantu. Sekalinya ia membantu maka properti dapur akan rusak dalam sekejap.
Bayangkan saja saat Zahirah sedang memasak telur, telurnya gosong. Lalu saat mengiris bawang, jari-jemarinya ikut teriris. Yang lebih parahnya lagi saat membuat sayur lodeh, semua dedaunan di masukan kedalamnya. Daun apapun, entah itu daun melinjo, daun singkong, bahkan rumput tetangga pun ia masukan. Zahirah menggeleng, tidak ingin mengulangi kejadian memalukan itu untuk kesekian kalinya.
"Tangan kamu gimana, Zah? Udah baikan?" tanya Asma melihat ujung jari telunjuk Adiknya.
"Masih perih." Adu Zahirah kepada perempuan yang sudah melarangnya melakukan ini-itu, hingga tangannya sudah sembuh total.
Asma mengobati jari telunjuk Zahirah yang mulai mengeluarkan darahnya kembali. "Pulang yuk, kita obatin lukanya di rumah. Alat P3K disini kurang lengkap."
Zahirah menganggukkan kepalanya. "Emmm, Teh. Mau tanya, boleh?"
Asma mengernyit, tumben sekali Adiknya itu ingin bertanya kepadanya. "Tanya apa, Zah?"
Zahirah menatap beberapa santriwan yang tampak sibuk kesana-kemari, mencari wadah kosong yang bisa mereka gunakan sebagai nampan makanan.
"Masaknya banyak banget. Emang bakalan ada apa, sih?" tanyanya penasaran.
Asma tersenyum tipis mendengar pertanyaan yang kian ia dengar dari mulut mungil Adiknya. "Kajian malam. Kamu harus ikut, Zah. Jangan ngurung diri di kamar mulu."
"Seru nggak?" tanya Zahirah membuat Asma tertawa.
"Astagfirullah! Seru nggak seru itu kajian loh. Tapi InsyaaAllah seru banget, Zah. Apalagi kalau ngajinya sudah melibatkan perkitaban," ucap Asma membuat Zahirah berbinar.
"Beneran seru yah, kalau nggak seru aku kabur aja," ujar Zahirah mendapatkan gelengan kepala dari Kakaknya.
"Astagfirullah ... dikira ngaji itu pertandingan bola apa? Bisa sorak-sorak heboh," gumam Asma dengan suara pelan.
****
Kajian santri setempat pun telah berlangsung di aula pengajian yang bersebelahan dengan madrasah, khusus santriwati. Sedangkan para santriwan berada di luar, hingga leluasa menikmati kajiannya dengan angin malam menyapanya.
Di pimpin oleh Kholid yang melantunkan beberapa sholawat, serta lantunan murotal dari Hadwan. Membuat seluruh santri terpaku, begitupun dengan Zahirah yang kini menundukkan kepalanya, menghayati ayat-ayat suci Al-Qur'an hingga ia menangis tanpa kesadaran penuh darinya.
"Dek, kamu nangis?" tanya Asma ketika menyadari ada suara isakan tangis dari sebelah tempat duduknya.
Zahirah menggeleng pelan, ia menekan dadanya yang terasa sesak. "A-aku nggak tau, Teh. A-aku ngerasa hina berada ditempat seperti ini, aku malu pada diriku sendiri, aku malu karena tidak menyadari bahwa kajian malam seperti ini ada sesi murotal setiap santri. Aku merasa aku paling bodoh, tidak tahu makna dan arti dari ayat yang dilantunkan Kang Hadwan disana. Tapi aku merasa, h-hati aku sakit ..."
Asma terharu mendengar penuturan kata dari Adiknya itu. "Itu artinya Allah telah menggetarkan hati bekumu, nggak papa. Nangis aja, Allah pasti denger segala sakit yang kamu rasakan sekarang. Sini, bersandar di bahu Teteh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Подростковая литератураKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...