“Ketika hati menginginkan seseorang yang aku kagumi, halangan nafsu yang tidak bisa aku bantah. Aku diam, namun Allah menolongku dengan perantara yang tidak aku bayangkan sebelumnya.”
-
Zahirah mencari keberadaan Asma. Ternyata perempuan itu sedang berada di perpustakaan dengan menunjukkan kepalanya, membaca buku.
“Teh Asma!” panggil Zahirah duduk bersebelahan dengan Asma.
“Kenapa Zah?” tanya Asma tanpa menoleh ke arah samping.
Zahirah mengerucutkan bibirnya. “Teh Asma kenapa jutek gitu sama aku? Nggak biasanya kayak gini.”
Asma membolak-balik halaman buku tanpa minat. “Perasaan kamu aja kali.”
Zahirah menggeleng. “Teh Asma beda banget hari ini. Biasanya cerewet, sekarang Teh Asma nggak banyak bicara. Kenapa sih Teh? Teteh kesel sama Zahirah karena semalem aku ngobrol sama Kang Hadwan ya?”
Asma terdiam membisu. “Nggak.”
Zahirah tersenyum menanggapinya. “Aku tau kok. Teh Asma suka sama kang Hadwan 'kan?”
Asma mengigit bibir bawahnya. “K-kamu tau dari mana?”
Zahirah mengeluarkan buku kecil dari saku gamisnya. “Dari sini. Hehe ... maaf ya Teh. Aku baca isi bukunya. Habisnya aku kepo, eh ternyata—hmmppp!”
Asma membekap mulut Zahirah. “Jangan kencang-kencang. Nanti ada orang denger.”
Zahirah menyengir tanpa dosa. “Hehe ... maaf, jadi bener? Teteh suka sama kang Hadwan?”
Dengan ragu Asma mengangguk-anggukkan kepalanya, mengiyakan. “J-jangan bilang sama siapa-siapa, Zah. Aku malu ...”
Zahirah sontak saja tertawa. “Ya ampun, Teh. Ngapain harus malu? Aku seneng kok, akhirnya Teteh bisa suka sama orang. Apalagi setahu aku, dari kecil sampai sekarang Teteh nggak ada yang deketin. Ada yang deketin juga, Teteh nya malah ngehindar.”
Asma tersenyum tipis. “Aku begitu, karena aku mau jaga kehormatan aku sebagai wanita. Kamu pun harusnya seperti itu, jangan terpancing sama hawa nafsu. Teteh juga hanya mengagumi Kang Hadwan. Jika dia jodohku, Allah akan dekatkan. Jika bukan, mungkin aku harus mengikhlaskan.”
Zahirah menghela napas panjang. Ia tidak suka dengan Asma yang suka kepada seseorang tapi tidak berani untuk mengungkapkannya.
Tiba-tiba saja terbesit ide gila yang muncul di kepala cantiknya. “Aha! Aku tau supaya Teteh bisa dekat sama kang Hadwan.”
Asma mengernyit. “Jangan aneh-aneh, Zah.”
“Nggak aneh-aneh kok. Aku cuma mau bantu Teteh pdkt sama kang Hadwan. Mau aku bantu nggak Teh? Teteh 'kan suka malu kalau berhadapan sama kang Hadwan. Aku siap kok dari ojek Teh Asma. Antar jemput surat cinta misalnya.”
Asma menggelengkan kepalanya. “Kamu ini nggak usah bercanda, deh.”
“Aku nggak bercanda Teteh! Kalau nggak percaya, aku bakalan kasih ini surat ke kang Hadwan.”
Asma melotot melihat lembaran kertas yang berada di genggaman tangan Zahirah. “S-sejak kapan kamu robek buku aku?”
“Ini surat buat Kang Hadwan 'kan? Tapi nggak ada yang anterin. Biar Zahirah bantu, oke. Tenang aja, suratnya bakalan sampe langsung ke tangan orangnya, kok.”
Asma menggeleng cepat. “J-jangan Zah! Aku malu!”
Zahirah memutar bola matanya malas. “Kalau malu terus, dia nggak bakalan peka. Teteh! Udah ah, aku mau nganterin surat ini.”
“Zah! Jangan!”
Terlambat. Zahirah sudah keluar dari perpustakaan, gadis itu berlari menuju asrama santriwan. Asma yang membendung rasa malu pun berlari, mencoba menghentikan aksi Adiknya yang tidak bisa ia bantah.
Zahirah! Keras kepala banget sih itu anak! Batin Asma merasa geram dengan Zahirah.
Sedangkan dari kejauhan Zahirah sudah sampai di asmara santriwan. Berteriak-teriak mencari Hadwan, membuat Asma mengigit bibir bawahnya antara takut dan malu mempunyai Adik yang memiliki sikap bar-bar.
“Kang Hadwan!”
“Kang Aiman! Lihat kang Hadwan nggak!” teriak Zahirah di depan pintu asrama.
“Astaghfirullah! Teh Zahirah, ada apa teriak-teriak?”
Zahirah celingak-celinguk mencari keberadaan Hadwan. “Aku nyari Kang Hadwan. Dimana ya?”
“Ada—”
“Kenapa Teh? Nyari saya?” tanya Hadwan yang tiba-tiba datang, memotong ucapan Aiman.
Zahirah tersenyum lebar. “Ini kang, aku cuma mau ngasih ini aja. Jangan lupa dibaca ya, kang. Aku pergi dulu.”
Zahirah berbalik. Namun sebelum itu ia mengedip-ngedipkan matanya genit ke arah Hadwan. Membuat lelaki itu bergidik geli. Setelahnya ia benar-benar pergi, berlari dan menghilang di belokan bangunan masjid.
“Cie-cie, dapet surat afaan tuh?” Goda Aiman menyenggol bahu Hadwan.
“Nggak tau,” jawab Hadwan terlihat cuek. Namun dalam hatinya ia berdebar dengan tatapan Zahirah barusan.
“Buka dong, Kang. Aiman mau lihat isi suratnya apa?”
Hadwan menggeleng, memasukkan surat kecil itu ke dalam saku baju koko miliknya. “Jangan kepo. Ayok ah, lanjut lagi hafalannya.”
Aiman mendesah gagal. Ia menatap Hadwan yang kini menahan senyum, karena tidak tahan Aiman pun berceloteh. “Kalau seneng jangan ditahan, Kang. Senyum aja gitu, mau guling-guling juga nggak papa.”
“A-apaan sih, nggak.”
“Nggak salah, baper nie ...”
“Suttt!”
Aiman tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Hadwan menghela napas panjang, memegangi dadanya yang tiba-tiba berdebar.
Astaghfirullah, aku kenapa?
__________
Tetap lanjut nulis. Walau tidak ada banyak pasang mata.🙂😌
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Teen FictionKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...