[10] Ghibah.

514 66 2
                                    

"Jika antartika adalah tepi bumi, mungkin antarkita hanya sebatas mengagumi."

-

Allahuakbar Allahuakbar...

Lantunan adzan berkumandang, Zahirah berlari terburu-buru memasuki ruangan madrasah. Takut ketinggalan jama'ah magrib. Mendengar suara adzan yang merdu dari arah masjid sebrang, membuat hatinya terasa terguncang. Entah dapat hidayah dari mana, hingga Zahirah ingin buru-buru pergi ke madrasah.

Padahal setibanya di sana ia harus menunggu sang imam maju ke depan. Belum lagi menunggu para santriwati yang masih mengantri, mengambil air wudhu. Zahirah berdecak kesal, seraya memainkan buku hadits yang selalu ia baca, berniat untuk mengembalikan bukunya kepada sang pemilik.

Usai melaksanakan sholat magrib para santriwati dilanjutkan untuk murojaah Al-Qur'an. Namun tidak dengan Zahirah, yang keluar madrasah dengan cara mengendap-ngendap, layaknya seorang maling.

"Kang Hadwan yang mana ya? Duh, kok banyak banget yang pake sarung sama peci hitam."

Zahirah mengintip dari celah jendela yang terbuka. Ia tahu betul outfit yang sering Hadwan kenakan setiap berada di pondok. Sarung hitam, sorban hijau, berpeci hitam, kadang-kadang di selingi peci putih.

Menghela napas sabar, sambil memperhatikan para santriwan yang sibuk membaca Al-Qur'an.

"Nah, itu dia!" pekik Zahirah memancarkan wajah gembiranya, seperti orang yang baru saja sudah menemukan harta karun.

"Kang! Kang Hadwan!" teriak Zahirah melambai-lambaikan tangannya tanpa rasa malu sekalipun.

Spontan semua pasang mata tertuju padanya. Hadwan melotot, melihat Zahirah yang mengintip ibadah para santri laki-laki melewati kaca jendela yang sedikit terbuka.

"Astagfirullah, Zahirah."

Hadwan menutup Al-Qur'an miliknya, lalu menaruhnya di rak kitab tempat penyimpanan semua kitab-kitab kajian.

Langkahnya terlihat tergesa-gesa, sebab tidak mau mengambil resiko jika nantinya orang-orang pondok akan berpikiran negatif yang tidak-tidak tentangnya.

Melihat sikap bar-bar Zahirah membuatnya malu setengah mati. Bukan karena Zahirah anak kyai Zaid Arqam. Akan tetapi, akan sikap terus terang dirinya yang membuatnya tidak akan siap menghadapi berbagai rintangan masalah, remaja pondok.

"Ada apa?" tanya Hadwan ketika sudah berada di hadapannya.

Zahirah menyodorkan sebuah buku hadits Bukhori dan Muslim miliknya. "Nih, aku balikin. Makasih udah dipinjemin. Bagian belakangnya ada yang sobek. Maaf, aku ngapalinnya sambil minum kopi, jadi nggak sengaja ketumpahan. Tadinya mau bersihin, eh... Malah robek."

Zahirah memasang wajah sedih, agar Hadwan percaya dan tidak kecewa kepadanya. Mungkin ini kali pertama ia melakukan kecerobohan, yang berdampak buruk untuk orang lain.

Hadwan menghela napas panjang. "Ya ampun, Teh Zahirah. Kirain mau ngapain."

"Ya mau ngapain emang?" tanya Zahirah begitu ceplas-ceplos.

Dengan gerakan cepat Hadwan menggelengkan kepalanya. "Tidak-tidak, lupakan. Untuk itu, kamu ambil saja. Simpan dan hafalkan sampai benar-benar hatam."

"Tapi ini punya Kang—"

"Saya sudah hatam. Alhamdulillah, mungkin tinggal mengamalkannya saja. Dari pada nangkring di rak kitab, lebih baik kamu bawa dan hafalkan. Dengan begitu kamu bisa sedikit memahami tentang prinsip hidup menurut ajaran islam."

Jika orang-orang mengira Zahirah akan menolak, maka prediksi mereka akan salah besar. Karena sekarang Zahirah tengah jingkrak-jingkrak, kesenangan.

"Serius? Ah, makasih Kang. Tau aja aku udah mulai jatuh cinta sama ini hadits. Gamon banget loh kata-katanya, bikin orang seketika ngerasa ketampar gitu."

Hadwan tak mampu menapikkan, jika ia pun ikut senang dengan kebahagiaan yang Zahirah miliki. Namun tidak berangsur lama, karena para santriwan yang tadi mengaji di dalam masjid, kini mencondongkan kepalanya lewat jendela, mengintip.

Memantau dari kejauhan interaksi Hadwan bersama lawan jenisnya. Mereka menebak-nebak apa saja yang keduanya bicarakan hingga menimbulkan suara gelak tawa?

"Ikhtilat nggak sih, mereka?" tanya Fathan, salah satu santriwan yang ikut mengintip di balik pintu masjid.

Aiman mengetuk-ngetukkan dagunya berpikir. "Halal-halal aja sih, selagi pembahasannya positif mah."

Fathan mengangguk, kembali memfokuskan pandangannya kepada objek pertama. Terlihat keduanya masih asik mengobrol, hingga Zahirah memutuskan untuk segera pergi dari area masjid, karena takut disangka yang tidak-tidak oleh orang-orang sekitar.

"Cie yang habis di apelin sama Teh Zahirah. Uhuy!" Goda Aiman menyindir Hadwan yang kembali memasuki masjid.

"Gimana Kang, sensasi pertemuan magribnya? Jedag-jedug nggak?" tanya Fathan diiringi gelak tawa mengejek.

"Kamu kira template capcut ada kesan jedag-jedug nya?!" heboh Hamid menimpali. Spontan para santriwan yang mendengarnya pun tertawa terbahak-bahak.

Hadwan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astagfirullah, kami hanya mengobrol biasa. Kalian jangan berpikiran yang aneh-aneh."

Tidak mau ambil pusing, Hadwan melangkah meninggalkan mereka yang masih berada di ambang pintu. Hadwan membuka Al-Qur'an, melanjutkan bacaannya yang sempat tertunda.

Mengikuti apa yang Hadwan kerjakan, mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Memulai bacaannya, namun tidak dapat di pungkiri. Masih banyak santriwan yang berbisik-bisik atas kejadian yang baru saja mereka tonton.

"Astagfirullah, kalian masih saja kepo. Udah-udah, stop ghibah!" peringat Aiman tidak nyaman karena mendengar mendengar bisikan mereka, membuat konsentrasi menghafalkan tiba-tiba buyar.

Fathan menggaruk-garuk tengkuk lehernya. "Bukan aku yang mulai, ya. Aku hanya ikut menanggapi."

"Eh apaan, itu salah kalian yang bertanya. Makanya aku jawab!" Protes Hamid tidak mau di salahkan.

"Sudah cukup. Ingat nggak kata Hadits Ahmad gimana? Atadruuna malghibah? Dzikruka akhooka bimaa yakroh."

Mereka terdiam, Fathan mulai bertanya, mewakili teman-temannya yang lain. "Lupa lagi, emang apa artinya?"

"Apakah kamu tahu, apa itu mengunjunjing? Yaitu memperbincangkan temanmu hal-hal yang tidak disukai."

Aiman menghela napas panjang, kembali berucap. "Jadi stop, ya. Nggak baik ghibahin orang. Apalagi sekarang kita berada di dalam masjid, kalian nggak takut dosa apa?"

"Astaghfirullahhaladzim!"

Kompak. Akhirnya mereka beristighfar atas kekhilafan yang mereka sadari, dengan tangan yang mengusap-usap dada berulang-ulang kali. Mereka pun bertaubat, kembali bertadarus hingga menjelang waktu isya.

***

17 Mei 23



Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang