[08] Penyesalan.

519 69 1
                                    

"Bintang-bintang tidak akan bersinar tanpa kegelapan. Begitupun dirimu, tidak akan merasa salah tanpa adanya penyesalan."

-


Keluarga besar Zaid Arqam sedang berada di rumah sakit Cahaya Indah. Usai pertengkaran tadi siang Zaid terkena serangan jantung, membuat seluruh keluarganya panik bukan main. Terutama Zahirah yang menjadi sumber kekesalan Zaid kala itu.

"Ini salahku," lirih Zahirah menatap ruang ICU penuh penyesalan.

Mahirah mengelus punggung Zahirah, menenangkan. "Ini bukan salahmu sayang. Semuanya terjadi hanya kebetulan, ini sudah ketetapan takdir dari Allah."

Zahirah menggelengkan kepalanya. "Aku yang menyebabkan Abah masuk rumah sakit, Ummah. Aku yang membuatnya depresi ... maafkan Zahirah..."

"Suttt ... Kamu nggak salah," ucap Mahirah memeluk tubuh anak bungsunya yang terasa bergetar, menahan tangis.

Kholid dan Asma yang melihat hal itu hanya bisa terdiam membisu, mereka masih kecewa atas tindakan Zahirah yang sudah melewati batas wajar.

Sedangkan Aiman dan Hadwan hanya mampu mengamati tanpa berniat mengomentari.

"Keluarga Pak Zaid!" panggil seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang ICU.

"Ya, Dokter ... saya istrinya."

Sang dokter tersenyum tipis. "Bisa anda ikut ke ruangan saya sebentar? Ada beberapa hal yang harus saya bicarakan mengenai penyakit yang di derita pasien."

Mahirah menganggukkan kepalanya, berjalan mengikuti sang Dokter yang membawanya ke ruangan khusus. Sedangkan salah satu suster yang menjadi tangan kanannya mempersilahkan keluarga pasien untuk masuk menjenguknya.

Tampak ragu dan gelisah. Zahirah berjalan membuntuti Kholid yang mendekati ruang ICU. Ditatapnya wajah pucat Abah Zaid dari kejauhan. Hatinya berkedut, merasakan sensasi sakit tapi tak berdarah.

"Abah ..."

Zaid Arqam mendengar sapaan dari Kholid. Akan tetapi matanya terasa berat untuk dibuka. Ia hanya membalas sapaannya, melewati gerakan bibir saja.

Zahirah membekap mulutnya, terharu. Rasanya ia ingin sekali memeluk Abah nya. Meminta maaf, dan membawa Abah nya untuk pulang ke rumah.

"Kenapa nggak masuk, Teh?" tanya Aiman, hendak masuk ke dalam, mendahului Zahirah yang masih berdiri di ambang pintu.

Aiman hanya mendapatkan gelengan kepala. Setelahnya Zahirah pergi tanpa mengatakan apapun, meninggalkan ruang sawat sang Abah. Aiman tersadar, ia pun melirik ke arah Hadwan yang juga menatapnya.

"Teh Zahirah kenapa ya? Kang."

Hadwan menggeleng. "Kamu masuk duluan, aja. Saya mau ke toilet dulu."

Dusta Hadwan yang mengatakan ingin pergi ke toilet. Namun nyatanya ia berlari, menyusul Zahirah yang sudah berada di taman belakang rumah sakit. Menangis tanpa suara, di bawah pohon rindang.

"Kenapa bukan aku aja yang sakit, Yaa Allah! Aku nggak sanggup lihat Abah tiduran disini. Aku nggak bisa hidup tanpanya," lirih Zahirah menepuk-nepuk dadanya, berharap rasa sakit di dalam hatinya bisa menghilang begitu ia tepuk keras.

"Ekhem." Hadwan berdehem, tepat di belakang tubuhnya.

Tidak ingin terlihat lemah. Zahirah terburu-buru menghapus jejak air matanya yang keluar. Tersenyum tipis, seraya menghadap ke arah Hadwan.

"K-kang Hadwan? Kok disini?" tanya Zahirah menyembunyikan ekspresi sedihnya.

Hadwan mengukir senyum tipisnya. Rupanya Zahirah belum menyadari kehadirannya sedari tadi. "Hanya mengikuti arah angin yang membawaku hingga sampai di bawah pohon ini. Mungkin untuk meredakan air hujan yang hendak turun."

Zahirah mengernyit. Menatap langit yang terlihat cerah. Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera turun. Zahirah tertawa, sangat konyol.

"Bercandanya nggak lucu banget," ketus Zahirah menghentikan tawanya.

"Siapa bilang tidak lucu? Lucu, kok. Buktinya kamu ketawa," ucap Hadwan tepat sasaran.

Zahirah berdehem, merubah ekspresi wajahnya biasa-biasa saja. "Terserah Kang Hadwan saja," pasrahnya.

Zahirah duduk di kursi bawah pohon, menikmati terpaan angin yang menumbruk relung tubuhnya. Sesekali melirik Hadwan yang hanya berdiri di sampingnya, memperongoh saku celananya yang mencoba mengeluarkan sesuatu di dalam sana.

Buku hadits sahih Ahmad, Bukhari dan Muslim. Zahirah mengernyit, melihatnya. Untuk apa Hadwan memberikan buku tersebut kepadanya?

"Buku hadits? Untuk apa?" tanya Zahirah dilanda rasa keheranan.

"Dibaca dan di hafal."

Zahirah menggeleng. "Aku nggak suka baca hadits. Kalau novel, aku suka."

Senyum Hadwan tercetak jelas, kala Zahirah menolak pemberian darinya. "Hanya untuk pegangan saja. Kelihatannya kamu sangat butuh pengarahan. Mungkin dengan sedikit membaca hadits ini, hidup kamu bisa terarahkan."

Dengan perasaan ragu Zahirah menerima buku hadits kecil itu. Membukanya dengan pelan, mencoba membaca awal kalimat yang telah tertera di dalamnya.

Sejenak ia menikmati bacaannya, hingga ia menemukan sebuah hadits yang cukup membuatnya terdiam membisu.

Samrotuttafritin nadaa matu wasamrotul hazmissalamah.

"Buah dari sembrono lengah, adalah penyesalan. Dan buah dari cermat teliti, adalah keselamatan."

***


16-Mei-23

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang