“Allah menggetarkan bumi, agar umatnya sadar diri. Bahwa hidup di dunia hanya sebentar, sedangkan di akhirat akan kekal abadi.”
-
Sepulangnya dari bandara. Zaid di kagetkan dengan berita gempa bumi di kampung tetangganya. Tempat tongkrongan Zahirah dahulu, anehnya daerah Zaid hanya merasakan getarannya saja. Tidak sampai memakan banyak korban seperti apa yang di beritakan di televisi saat ini.
Prank!
Gelang kaca yang di bawa Zahirah tumpah setelah mendengar kabar duka tersebut. “H-hasna—”
“Zahirah! Mau kemana kamu!” teriak Zaid saat Zahirah berlari keluar pondok.
Zahirah menoleh, berjalan menghampiri Zaid dengan mata berkaca-kaca. “H-hasna, Bah. Aku mau lihat keadaan dia sekarang. Aku takut temen aku kenapa-napa.”
Zaid tertegun. “Ummah, kumpulkan anak santri. Kita kunjungi masyarakat kampung sebelah.”
“Zahirah, ayok. Bareng Abah,” ajak Zaid yang di angguki langsung oleh Zahirah.
***
Hadwan dan teman-teman pondok yang lainnya, membantu korban gempa bumi untuk di bawa ke klinik terdekat. Hadwan cukup kaget melihat banyak rumah-rumah yang roboh, pohon tumbang. Dan banyak kendaraan yang hancur.
Astaghfirullah ...
Inalillahi waina'ilaihi rojiun...
Banyak para media televisi yang meliput bencana alam tersebut. Sampai-sampai Hadwan dibuat bingung, karena tidak mau tersorot kamera.
Zahirah yang berada di dalam klinik memeluk tubuh sahabatnya erat. Hasna Jasimah, gadis itu tampak kacau melihat jasad kedua orangtuanya yang sudah di bawa ke tanah kuburan masal.
“Z-zah ... gue nggak punya siapa-siapa lagi. Rumah gue udah runtuh, semua barang-barang gue hancur ... kenapa gue nggak ikut mati aja sama mereka? Zah! Gue nggak sanggup—”
“Sut! Na, kamu nggak boleh gitu, ini semua udah takdir dari Allah, kamu harus bisa ikhlas menerima keadaan ini. Masih ada aku disamping kamu, Na.”
Hasna memeluk Zahirah dengan tubuh bergetar. Asma yang berada di dekatnya ikut meneteskan air mata, terharu.
Zaid melihat keluar jendela. Dengan kondisinya yang masih berada di atas roda, ia bersyukur. Allah masih memberinya kesempatan untuk hidup, sedangkan melihat kampung tetangganya, banyak korban yang kehilangan nyawa, keluarga, dan harta yang berharga.
Pemerintah setempat sudah memberikan donasi untuk dibuatkan rumah susun. Namun mereka bingung, selama rumah itu dibangun, mereka akan tinggal dimana?
Melihat klinik rumah sakit ini sangat aktif di gunakan, membuat para korban di landa kebingungan. Tidak mungkin juga mereka tinggal di kolong jembatan, dengan warga sebanyak ini. Hingga akhirnya Zaid memutuskan untuk ikut berdiskusi dengan pihak masyarakat itu sendiri.
“Selama rumah susun di bangun. Dengan senang hati, saya menawarkan pondok pesantren saya untuk diinapi oleh para warga Singaraja. Mungkin cukup untuk lima ratus orang. Untuk kebutuhan pokok, saya ada tabungan sedikit. Mereka bisa memakaikannya untuk kebutuhan sehari-hari, selebihnya saya serahkan kepada donatur dan para pemerintah negara.”
“Alhamdulillah ... MasyaaAllah Terimakasih Pak kiyai, sudah mau membantu para warga saya untuk tinggal di pondok antum,” ucap Pak Retno. Selaku kepala desa di warga Singaraja.
“Alhamdulillah, semoga Allah membalas semua kebaikan Pak Kiyai. Terimakasih sudah mau meringankan beban para warga disini,” ujar Pak Mahendra, selaku Kepala kecamatan yang kini menyeka air matanya terharu.
Ucapan do'a serta terimakasih Zaid dapatkan dari para warga yang ikut berdiskusi, untuk tempat tinggal para korban bencana. Mereka pun di pindahkan ke pondok pesantren Al-Munawaroh dengan ruang lingkup seadanya.
Para santri pun banyak yang menyumbangkan pakaian serta makanan untuk para korban, menyambutnya dengan hangat layaknya keluarga sendiri.
“H-hadwan ...”
Hadwan menoleh, mendapati Asnaf yang ia tahu adalah teman tongkrongan Zahirah dulu. Hadwan tersenyum ramah, “Iya Kang, kenapa? Ada yang perlu saya bantu?”
Asnaf menggaruk-garuk tengkuk lehernya. Ia belum terbiasa dengan kehidupan para santri, “G-gue mau ke toilet. Dimana ya?”
Hadwan tersenyum, menunjuk ke arah lorong kanan menggunakan jempolnya seraya menundukkan kepalanya, sopan. “Disebelah sini, Kang. Lurus aja, nanti ada tulisan toilet Ikhwan.”
Dengan kaki yang sedikit pincang Asnaf berjalan menuju toilet. “Thank you.”
Hadwan tersenyum tipis. Kembali ke pondoknya untuk membantu para warga beradaptasi dengan lingkungan pondok, serta memberikan beberapa pertaruhan yang harus mereka patuhi. Agar para warga mengikuti, apa yang sering para anak santri lakukan di tempat suci ini.
***
Sedikit sedikit ya up nya. Gpp asalkan konsisten hehe🤧 jangan lupa votmen yups.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Ficção AdolescenteKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...