[25] Keputusan

512 45 0
                                    

"Meskipun kamu bilang ini salah paham. Tapi hatiku tidak akan pernah salah memilih tempat untuk berpulang."

-

Keluarga Hadwan serta keluarga dari Zahirah tengah berkumpul di ruang tamu. Tiga hari berlalu, akhirnya Hadwan bisa bernapas lega karena tidak lama lagi untuk menunggu. Akan tetapi Hadwan masih saja gelisah, takut keputusan Zahirah membuat keluarganya kecewa.

Bismillah ... yaa Allah jika pun Zahirah menolak saya. Tolong, jangan sampai ikatan persahabatan keluarga kami terputus begitu saja.

Hadwan terus berdo'a, sedangkan Zahirah menundukkan kepalanya. Mereka takut, ragu, dan gugup ketika berhadapan dengan sosok Hadwan yang notabenenya santri senior di kalangan para santri An-Nur Hidayah.

"Jadi, bagaimana keputusan Ning Zahirah setelah lamaran kemarin?" tanya Robih tidak sabaran.

Zahirah menundukkan kepalanya, mengigit bibir bawahnya mencoba menghilangkan rasa gugupnya. "Emmm—"

"Tenanglah, aku disini," bisik Asma yang duduk bersebelahan dengannya.

Zaid Arkam tersenyum, mengusap punggung Zahirah. "Nak, kamu tidak apa-apa?"

Zahirah mendongak. "E-enggak papa, Bah."

Tatapan Zahirah beralih kepada Hadwan. Lalu selanjutnya bergeser kepada Fatimah dan Robih yang juga menunggu jawaban darinya. Zahirah semakin gugup, ia merasa sesak di tatap serius seperti itu.

"Nak, bicaralah. Jangan takut, kami tidak akan memaksamu jika memang kamu mau menolak anak saya," ucap Fatimah tidak tega melihat wajah memerah Zahirah.

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat. Untuk sesaat ia melirik Asma yang menganggukkan kepalanya pelan.

"A-aku mau—"

"Aku mau jadi istrinya Kang Hadwan!"

Jawaban lantang dari Zahirah mampu membuat Hadwan terpaku. Mahirah dan Zaid Arkam spontan mengucapkan hamdalah, begitupun dengan Robih dan Fatimah.

"Alhamdulillah, yaa Allah!"

"Akhirnya kita bisa jadi besan ya, Id," ucap Robih meneteskan air matanya terharu.

"Iya. Alhamdulillah, mashaAllah..."

Hadwan tidak bisa berkutik selain melantunkan rasa syukur di dalam hatinya. "Ya Allah, syukron Teh Zahirah... mashaAllah. Alhamdulillah ..."

Zahirah mengigit bibir bawahnya. Tatapannya beradu dengan mata berkaca-kaca Hadwan, lelaki itu menangis?

Tentu, ia teramat terharu karena lamarannya di terima dengan baik. Hadwan berjalan mendekati Zaid. Menundukkan kepalanya, bersujud di bawah lutut Zaid membuat semua orang mematung.

"Alhamdulillah, mashaAllah terimakasih Kiyai. Dan maaf jika saya lancang, saya tidak bisa menyembunyikan rasa terharu saya. Saya sangat senang mendengar jawaban Teh Zahirah barusan."

Zahirah meneteskan air matanya. Asma memeluk tubuh Zahirah dari samping, berbisik pelan. "Tuh 'kan. Apa aku bilang, kang Hadwan tuh cinta banget sama kamu, Zah."

Zahirah tersenyum sambil terisak di pelukan Asma. Zaid mengangkat bahu Hadwan seraya mengucap puncak kepalanya pelan. "Jangan seperti ini, Hadwan. Saya juga senang dan beruntung mendengar keputusannya. Alhamdulillah, Zahirah mendapatkan pasangan seperti kamu. Ikhwan taat dalam ibadah, dan tidak sedikitpun melanggar ucapan saya. Syukron Hadwan, kamu sukses membuat hati anak saya roboh."

"Bukan Zahirah yang beruntung, tapi saya yang sangat-sangat beruntung bisa mengikat Teh Zahirah menjadi pendamping hidup saya di kemudian hari."

Zaid menepuk pundak Hadwan beberapa kali. "Jangan kecewakan anak saya, bahagiakan dia sebisa kamu."

Hadwan menganggukkan kepalanya, mengepalkan tangannya kuat-kuat. "InsyaAllah. Saya akan menjaga amanah Kiyai semampu saya."

Zaid terkekeh mendengar jawaban tegas dari Hadwan. "Baiklah. Kapan kita akan melangsungkan akad pernikahannya?"

"Abah!" sentak Zahirah melotot tidak terima.

Hadwan tersenyum, menganggukkan kepalanya beberapa kali. "InsyaAllah secepatnya."

"Kang!" Zahirah menggeleng.

"Lebih cepat, lebih baik. Abi setuju," celetuk Robih ikut berkomentar.

Zahirah mendesah lemas. "Aku menerima kamu, tapi bukan berarti kita nikah buru-buru juga. Aku nggak mau—"

"Zahirah. Hadwan sudah melamarmu jauh-jauh hari. Dia juga sudah berbicara banyak dengan Abah, dia tidak mau membendung perasaan bimbang. Hadwan butuh kepastian sayang, mending seperti ini. Daripada menunda-nunda hubungan, dan berujung kepada kemaksiatan karena banyaknya berangan-angan." Mahirah mengelus punggung Zahirah memberinya pengertian.

Zahirah melirik Hadwan sinis. "Hish, ya udah deh. Terserah!"

Hadwan menghela napas panjang. Niat dia ingin segera akad karena takut Zahirah berubah pikiran, dan lagi ia ingin segera melengkapi ibadahnya kepada Allah, karena sejatinya istri adalah sumber pahala untuk suami. Begitupun sebaliknya.

Yaa Allah, apa caraku ini salah?

-_-

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang