[23] Merelakan.

476 40 0
                                    

"Ikhlaskan atau pertahankan? Semua itu memang mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk dilakukan."

-

Hadwan dan Zahirah sudah berada di ruang tamu. Keduanya sama-sama diam, usai perdebatan kata yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

"Jadi, bagaimana Teh Zahirah? Apa kamu menerima lamaran dari anak saya?" tanya Robih tidak sabar untuk mendengarnya langsung dari mulut calon menantunya itu.

Zahirah tampak diam tidak bisa berkutik. Sesekali ia melirik Hadwan yang kini hanya menundukkan kepalanya. "B-beri aku waktu."

Hadwan mendongakkan kepalanya, dengan kedua alis yang menyatu. "Apa maksud kamu?"

Zahirah tersenyum kaku. "B-beri aku waktu tiga hari, kang."

Jantung Hadwan berdegup kencang. Apa itu artinya Zahirah memberinya kesempatan? Lalu bagaimana dengan Asma?

"Ah, ya sudah. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu. Zaid, titip anak saya, ya. InsyaaAllah saya akan kembali kesini, setelah tiga hari berlalu. Mudah-mudahan saya bisa mendapatkan kabar yang baik dari Nak Zahirah, syukron jazilan, jazakallah khairan atas jamuannya, id."

Zaid menganggukkan kepalanya. "Na'am waiyyakum."

Keluarga Hadwan pun pamit untuk pulang. Sedangkan Zahirah berlari ke kamarnya, mungkin ia akan berbicara bersama Asma ketika emosi kakaknya itu mereda. Sekarang ia ingin mendinginkan isi kepalanya yang hampir terbakar.

"Aghh! Kenapa jadi salah sasaran kayak gini sih?!"

Zahirah membaringkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Perlahan ia mulai menutup wajahnya menggunakan bantal.

Disebelah kamarnya Asma menangis sesenggukan. Bersandar ditepi ranjang, seraya melempar buku-bukunya hingga berserakan di bawah lantai.

Ketika Zahirah dan Hadwan berbicara di belakang rumah. Ia mengintip di sudut jendela kamarnya, Asma melihat jelas dari sorot mata Hadwan, jika laki-laki itu sudah mencintai Adiknya sejak lama.

Namun bodohnya Asma tetap memendam dan menyangkal perasaan itu. Asma menggeleng, ia mulai bangkit dari duduknya, membereskan semua buku-bukunya dan merapihkan pakaiannya yang berantakan.

Aku tidak bisa berdiam diri disini, aku harus menemui Kang Hadwan ...

Sebelum keluar kamar Asma menyempatkan waktu untuk mencuci wajahnya terlebih dahulu. Lalu ia memberanikan dirinya untuk keluar.

"Asma-"

"Ummah!"

Mahirah berjalan mendekati Asma. "Mau kemana? Kok buru-buru?"

Asma meneguk ludahnya gusar. "M-mau ke madrasah Ummah, hehe ..."

"Owalah. Kirain mau kemana, habisnya buru-buru."

Asma tersenyum kikuk. "Nggak kemana-mana kok Ummah. Ya udah, Asma ke madrasah dulu ya Ummah... Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

"Kang!" teriak Asma ketika melihat Hadwan yang hendak memasuki masjid.

Hadwan tampak terkejut, dan langsung membalikkan badannya, menghadap kepada Asma yang meneriaki namanya.

"Teh Asma?"

Asma tersenyum ramah. "Assalamu'alaikum, Kang."

"Wa'alaikumsalam. Kenapa Teh?"

Asma meneguk ludahnya memberanikan diri. "T-tentang surat itu-"

"Kenapa baru bilang sekarang?" Tatapan Hadwan berubah datar. Ia pun menghela napas panjang, berjalan menjauhi area masjid.

Asma mengikuti dari belakang. Hingga keduanya berada di bawah tangga, duduk berdampingan tepatnya di aula pengajian.

"A-afwan Kang. Asma takut Kang Hadwan ilfil sama aku. Dan lagi, aku nggak tau kenapa Zahirah begitu suka mendesak aku untuk membuat surat itu, lalu memberikannya ke kamu. M-maaf ..."

Hadwan menggeser tempat duduk, menjauhi Asma. "Seharusnya kamu bilang terus terang. Jika sudah begini, saya tidak bisa mengubah niat saya untuk menghalalkan Adikmu. Maaf Teh Asma, bukan saya menolak dirimu. Tapi hati saya berkata lain saat mengetahui kebenaran ini."

Asma terdiam, menahan sesak di dadanya. Namun sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa sedihnya dengan kepalan tangan yang kian bergetar.

"A-aku tau Kang. T-tapi aku nggak bisa bohongin perasaan aku lebih jauh lagi. Aku mencintaimu kang, aku mau kamu juga bisa membalas cintaku."

Hadwan bangkit dari duduknya. "Maaf Teh Asma. Aku tidak bisa membalas perasaanmu, jika memang kita berjodoh. Maka Allah akan satukan kita. Namun untuk saat ini aku meniatkannya karena Allah, tulus mencintai Zahirah. Relakan saya, Teh ..."

Setelah mengucapkan itu Hadwan berlalu meninggalkan Asma yang mematung di bawah tangga. Gadis itu kembali menangis, bersandar di dinding tembok dekat pembatas antara masjid dan aula pengajian.

Merelakan cinta pertamanya?

Rasa sakit menyerang dirinya kembali, ia mengepalkan tangannya. Lalu berlari ke rumahnya dengan tangisan yang tidak bisa ia hentikan.

Hadwan yang kembali ke asrama putra pun buru-buru mencari kotak kardus yang berisikan kertas-kertas pemberian Zahirah, ralat. Surat itu dari Asma, Zahirah hanya perantara yang dijadikan alat penyampaian kata-kata cintanya.

"Maaf Asma, saya tidak bisa memilihmu. Maafkan saya," gumam Hadwan menyalakan korek api. Membakar semua surat-surat yang diberikan Asma kepadanya di atas tumpukan sampah yang lain.

Senyuman tipis terukir di bibirnya, ia meneteskan air matanya. Menekan dadanya yang terasa sakit. Entah kenapa, ia merasa teramat kecewa mengetahui fakta yang ada.

Zahirah, hanya nama itu yang selalu tersimpan manis dalam do'aku.

Bukan Asma.

Hadwan memukul pohon mangga yang berdiri kokoh di sampingnya. "Astagfirullah! Aghh!!"

Yaa Allah tolong kuatkan hati hamba, untuk menerima semua cobaan darimu.

=°=

Ekhemmmm....





Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang