[07] Hilangnya Harapan.

547 88 9
                                    

"Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tapi tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba kita menemukan kesempatan untuk berhasil."

-

Pagi hari yang suram kini di rasakan oleh keluarga Zaid Arqam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari yang suram kini di rasakan oleh keluarga Zaid Arqam. Surat edaran drop out dari sekolah anak bungsunya mampu membuat harapan keluarganya pupus dalam sekejap.

Zahirah yang mendapatkan beberapa surat peringatan dari sekolah pun tercengang kaget. Kini ia menyesal karena tidak pernah mendengarkan nasihat keluarganya.

"A-abah ..."

Brak!

Zaid menggebrak meja yang berada di hadapannya. Menatap Zahirah yang menundukkan kepalanya, dengan tubuh bergetar. Gadis itu tidak mampu berkata-kata lagi setelah melihat respon Zaid yang marah besar akan kesalahannya yang fatal.

"Puas kamu Zahirah?! Puas sudah memalukan keluarga kita?! Apa kamu sudah puas bertingkah seenak jidatmu? Hah!" bentak Zaid menatap Zahirah tajam.

Dadanya teramat sesak mendengar kabar jika anak bungsunya resmi di keluarkan dari sekolah, dengan alasan Zahirah yang terang-terangan melawan Pak Danang di dalam kelas.

Pihak sekolah pun sudah angkat tangan atas perlakuan Zahirah yang hari demi hari tidak ada perubahan apapun. Dan inilah titik terakhirnya, mereka sudah tidak sanggup mendidik Zahirah yang susah di atur.

"M-maafin Zahirah Abah ... Z-zahirah khilaf, Zahirah menyesal Abah ..." lirihnya berlutut di hadapan Zaid, menyesali segala perbuatannya yang mungkin sulit untuk dimaafkan.

Kholid, Asma dan Mahirah tidak bisa berkutik lagi. Mereka hanya mampu diam, menyaksikan pertengkaran antara Zaid dan Zahirah yang tidak pernah usai sampai kapanpun itu.

Zaid menghela napas panjang, menepis tangan Zahirah yang hendak menyentuh tangannya. "Pergi! Abah tidak ingin lihat kamu lagi."

Deg!

Bagaikan disambar petir di siang bolong. Kedua lutut kaki Zahirah terasa lemas untuk di gerakan, bibirnya terbuka tidak percaya atas perkataan Zaid.

Sedangkan kedua saudaranya membekap mulutnya tidak percaya. Tapi tidak dengan Mahirah yang berlari ke arah Zahirah, memeluk anak bungsunya penuh kasih sayang.

"Abah! Apa-apaan kamu. Zahirah tidak akan pergi!" sentak Mahirah menentang suaminya.

"Dia tidak pantas berada di keluarga ini. Saya tidak pernah menginginkan anak yang susah di atur. Selalu membantah apa yang menjadi bekalnya saat hidup!"

"Tapi Zahirah adalah anak kamu, Abah! Sepatutnya kamu mendidiknya dengan sabar. Sadarkah? Jika anakmu ini adalah anugerah terindah dari-Nya, Zahirah titipan dari Allah yang harus kita jaga. Bukannya kamu sendiri yang mengatakan hal itu dulu?"

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang