"Meskipun kamu bilang ini salah paham. Tapi hatiku tidak akan pernah salah memilih tempat untuk berpulang."
-
Hadwan mengernyitkan dahinya, ketika Zahirah menginjak-injak rumput yang sama sekali tidak bersalah. Sesekali ia mengomel, menatap Hadwan kesal.
"Kamu kenapa?"
"KAMU YANG KENAPA KANG! KAMU YANG KENAPA MALAH LAMAR AKU!" teriak Zahirah dengan suara melengking.
Hadwan menutup kedua telinganya. "Aduh, Teh. Jangan teriak-teriak atuh. Nanti keluarga kita denger."
"Biarin! Biarin mereka semua denger. Lagian kang Hadwan kenapa mau khitbah aku sih! Harusnya 'kan, Teh Asma yang dilamar, bukan aku!"
Hadwan dibuat bingung dengan perkataan kesal dari Zahirah. Alisnya berkerut, dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Maksud kamu apa? Bukannya kamu sendiri yang mencintai saya? Lalu meminta saya kapan membalas surat dari kamu? Dan ini jawaban aku, Zah. Aku ingin menghalalkanmu secepatnya."
Zahirah melotot dengan gelengan kepala tegas. "K-kang Hadwan salah paham. S-surat itu bukan dari Zahirah, tapi dari ..." Zahirah mengigit bibir bawahnya gugup. "T-teh Asma."
"HAH?!"
Zahirah memundurkan langkahnya pelan-pelan. "A-aku bisa jelasin semuanya. Tapi kang Hadwan jangan natap aku kayak gitu. Aku jadi takut, ih!"
Hadwan menghela napas panjang. Mencoba meredakan emosinya yang terkejut atas perkataan Zahirah barusan. "Apa maksud kamu? Zah!"
Zahirah dibuat gelisah dengan sikap Hadwan yang berubah dingin. "A-aku cuma mau bantuin Teh Asma. K-karena dia, suka kamu kang. Teh Asma yang cinta sama Kang Hadwan, bukan aku."
Hadwan mengusap wajahnya kasar. "J-jadi selama ini-"
"K-kang maaf," cicit Zahirah dengan suara pelan.
Hadwan mengepalkan tangannya menahan amarah. Ia menatap Zahirah kecewa. "Kamu mempermainkan saya?"
Zahirah langsung tercekat, menggeleng-gelengkan kepalanya. "E-enggak! Aku sama sekali nggak mainin perasaan kamu, Kang. Tapi jujur, aku nggak punya rasa sama kamu. Dan sekarang kamu tau, 'kan. Bukan aku yang kamu inginkan."
Hadwan tersenyum kecut. "Justru kamu salah Zahirah. Saya tulus mencintai kamu, saya tulus ingin ta'aruf denganmu. Dan saya tulus ingin mempersunting dirimu."
Zahirah terdiam mematung. "J-jangan bercanda, Kang."
"Saya tidak bercanda. Kalau saya bercanda, nggak mungkin kedua orang tua saya berada disini sekarang, Zah. Tidak mungkin saya berani meminta izin kepada kiyai untuk melamarmu ... aghh! Lupakan!"
Hadwan berbalik, hendak meninggalkan Zahirah. Namun gadis itu menghalangi langkahnya dengan merentangkan kedua tangannya di hadapan Hadwan, membuat lelaki itu menghentikan pergerakannya.
"Maaf kang, aku tidak bermaksud seperti itu. Salah aku juga nggak bilang dari awal. Tapi aku mohon, batalkan niatmu itu, dan ajaklah Teh Asma untuk kamu khitbah."
Hadwan terkekeh hambar. "Jangan aneh-aneh, Zahirah. Saya mencintai kamu, dan saya tidak akan membelokkan janji saya dengan Allah."
"Allah maha pengampun. Kamu tidak akan terkena dosa besar hanya karena mengingkari janji kamu satu kali."
Hadwan bersedekap dada. "Tidak Zahirah. Saya sudah mengikat kamu dalam doa-doaku."
Zahirah berdecak sebal. "Kalau begitu, ganti do'amu dengan mengikat Teh Asma. Karena aku nggak mau terima laki-laki yang dicintai perempuan lain."
Hadwan menghela napas panjang. "Tunggu saya mengikhlaskan dirimu, kamu boleh menganggap saya keras kepala. Karena itu memang benar adanya. Saya tidak bisa mengubah doa-doa yang saya panjatkan begitu saja."
"Tinggal bilang nggak jadi lamar Zahirah, jadinya mau lamar Teh Asma. Gitu aja repot!"
Hadwan menatap Zahirah tajam. "Tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Saya benar-benar ingin menikahi kamu Zahirah. Pernikahan bukan sebagai candaan, tapi sebagai penyempurna keimanan. Saya telah memilih kamu. Dan saya yakin, saya mampu mengubah dirimu ke arah yang lebih baik lagi."
"Tapi kang Hadwan salah paham! Bukan aku yang ngirim surat itu. Aku hanya perantara kalian saja!"
"Tidak ada kaitannya dengan surat menyurat. Saya memilihmu, karena saya memang benar-benar mempunyai perasaan lebih sama kamu."
Zahirah terdiam membisu. Tangannya terkepal kuat, dadanya bergemuruh hebat. "Omong kosong!"
Hadwan menggeleng. "Tidak ada yang omong kosong dari perkataan saya ini. Jika hati sudah mengikat satu perempuan, maka saya akan memperjuangkan perempuan itu."
"Tapi aku nggak suka sama kamu, Kang!"
"Rasa suka bisa hadir kapan saja. Begitupun dengan rasa cinta, ia datang tanpa diminta," ucapnya menatap Zahirah yang kini tengah menundukkan kepalanya.
"Jangan halangi do'a dariku. Aku ingin Teh Asma bahagia, bukan memendam rasa kecewa."
Hadwan menghela napas panjang. Berjalan meninggalkan Zahirah yang kini menatapnya tajam, namun sebelum itu Hadwan berbisik tepat ditelinga kanan Zahirah.
"Biarkan do'amu dan do'aku bertarung di langit," bisiknya berlalu memasuki rumah Zahirah.
Sedangkan perempuan itu tidak mampu berkutik lagi selain mengigit bibir bawahnya, mencari solusi agar dirinya tidak terjebak dalam cinta segitiga seperti di film-film yang sering ia tonton sebelumnya.
°o°
Besok lanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujangga Taqwa [TERBIT]
Teen FictionKisah seorang pemuda yang berjuang mengajak para pemberontak masyarakat yang tidak mau bertaubat. Hadwan Arkam Haryakan, seorang pemuda yang diperintahkan Abah Zaid untuk menegakkan agama Islam. Tidak hanya itu, ia juga harus berjuang menaklukan se...