[21] Khitbah.

510 39 0
                                    

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu.”

(Al-baqarah Ayat : 235)

-

Sudah seminggu lebih Zahirah terus-menerus mengirimkan Hadwan surat. Namun Hadwan tidak pernah sekalipun membalasnya. Ia hanya menerima, membaca berulang-ulang kali, sampai dirinya lelah karena memendam perasaannya sendiri.

Kertas yang berada di tangannya sudah menumpuk. Tidak terasa sudah jalan dua minggu, keseharian Hadwan hanya membaca dan membaca surat darinya. Sekalipun ia tidak bosan, dan rasanya ia senang saat membacanya.

Seperti sekarang, ia tengah tersenyum membaca ulang surat-surat sederhana dari Zahirah. “Astagfirullah. Sudah sejauh mana aku membacanya? Aku lupa baca hafalan hari ini. Aghhh! Zahirah! Kamu mengacaukan pikiranku.”

Hadwan menaruh lembaran kertas dari Zahirah ke dalam kotak kardus yang sering ia gunakan sebagai celengan uang saku dari orang tuanya.

Hadwan tersenyum tipis, lalu keluar dari kamarnya. Berniat menghafal Al-Qur'an di dalam masjid. Namun sebelum sampai ke tempat yang dituju, Hadwan tidak sengaja melihat Zahirah sedang bercanda gurau dengan Asnaf di perbatasan asrama antara santriwati dan santriwan.

Tangan Hadwan terkepal kuat, sorot matanya terasa panas melihat Zahirah tertawa dengan laki-laki lain yang bukan mahramnya.

“Cepet halalin Kang. Bahaya kalau udah kecantol Ikhwan lain. Tuh liat, mereka bahagia banget. Nggak takut apa di omongin para santri?”

Hadwan menoleh ke kiri, tempat Aiman berdiri. “Jangan seudzon. Mungkin mereka dengan berdiskusi.”

Aiman membekap mulutnya menahan tawa. “Diskusi? Diskusi apaan Kang? Udah jelas-jelas mereka ketawa-ketiwi berduaan.”

Tangan Aiman beralih, merangkul pundak Hadwan. “Halalin, Kang. Sebelum semuanya terlambat.”

Setelah mengucapkan itu, Aiman berlalu ke dalam masjid. Namun sebelum itu ia menepuk-nepuk punggung Hadwan, memberikannya semangat.

Hadwan tersenyum lebar. Menatap Zahirah tanpa berkedip. “Sepertinya benar kata kamu, Aiman. Saya harus segera mengkhitbah Zahirah. Jika tidak, saya akan gila karena terus membayangkan wajahnya.”

Hadwan mengusap wajahnya kasar. Membalikkan badannya ke arah toilet. Mengambil air wudhu, kemudian bersiap-siap meminta izin kepada Zaid untuk memanggil kedua orang tuanya.

****

Robih dan Fatimah dibuat bingung dengan permintaan Hadwan yang menyuruhnya datang ke pondok pesantren Al-Munawaroh tiba-tiba. Kini keluarga Hadwan sudah berada di ruang tamu keluarga Zaid. Mereka menatap Hadwan penuh tanda tanya.

“Wan. Ini kamu minta Abi buat datang ke pondok mau ngapain?” tanya Robih berbisik kepada Hadwan.

“Nanti Hadwan ceritakan. Sekarang Abi silaturahmi saja sama Abah Zaid.”

Robih menghela napas panjang. Sedangkan Zaid yang sudah tau lantaran Hadwan meminta izin terlebih dahulu kepadanya pun hanya bisa menampilkan senyum manisnya.

“Robih. Niat Hadwan menyuruh kalian datang katanya mau mengkhitbah anak saya. Tadi, selepas shalat subuh. Beliau meminta izin kepada saya untuk menelepon kalian. Nak Hadwan, silahkan bicaralah.”

Bujangga Taqwa [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang