Pagi menjelang siang ini, Retania tengah disibukkan dengan kegiatan di dapur. Sesuai janjinya, hari ini ia akan membagikan beberapa menu makanan pada tetangga terdekat sebagai tanda perkenalan. Namun kegiatannya sedikit terganggu ketika mendengar dua suara tengah berdebat di belakangnya. Itu adalah ulah Lokamandala dan Batari.
"Udah ah berisik, nih kakak sama Riri anterin ke tetangga ya" Sela Retania menjajarkan kotak bekal yang sudah terisi beberapa jenis makanan di dalamnya.
"Ke siapa dulu nih Ma?" Batari langsung berdiri karena tergiur dengan makanan yang sudah disiapkan.
"Yang deket dulu aja. Nih bawa, awas jangan sampe tumpah"
Tanpa bantahan dan drama seperti sebelumnya, Lokamandala dan Batari menerima beberapa tumpuk kotak bekal dari Retania. Mereka berdua segera tancap gas berjalan menuju teras depan untuk memakai sandal.
"Kak, kita mencar atau barengan aja nganterinnya?" Tanya Batari.
"Mencar ajalah ya, orang deket ini. Kamu ke kanan dek, kakak ke kiri. Kalau udah, langsung pulang. Engga usah kelayapan"
Lokamandala menyempatkan mengacak rambut adiknya sebelum berpisah ke arah yang berbeda. Sedangkan Batari sedikit bingung sembari memindai beberapa rumah tua yang berderet disekitarnya.
"Kemana dulu ya? Oh! Hansen!"
Dengan semangatnya, Batari mulai menyebrangi jalan yang selalu lengang dari kendaraan maupun pejalan kaki. Setelah sampai, ia membuka pagar yang ternyata tidak ada kuncinya sama sekali.
"Hansen?"
Batari semakin mendekat ke arah pintu lebar disana setelah melewati halaman luas yang sedikit tak terurus.
"Hansen? Ini aku, Batari. Kamu ada di rumah kan?" Serunya sambil melongok ke beberapa jendela tinggi di rumah itu.
Ketika menoleh ternyata ada sebuah lonceng didekat pintu, Batari mendekat dan memperhatikan benda berwarna emas tersebut. Sedikit berpikir, akhirnya ia menyentuh dan menggerakan benda mungil itu hingga berdenting nyaring.
Tring. Tring. Tring.
Batari tersenyum ketika mendengar suara merdu tersebut. Ternyata meskipun sudah berkarat dan berdebu, lonceng itu masih berfungsi dengan baik.
Tring. Tring.
"Kok engga ada yang keluar sih? Apa lagi pada pergi gitu ya?" Gumamnya bingung.
Batari..
Sial. Suara panggilan itu lagi. Batari segera memutar tubuhnya, memperhatikan sekitar halaman. Kosong. Tak ada siapapun. Sebenarnya suara apa itu? Tidak mungkin kan jika halusinasi.
"Cari siapa?"
Batari langsung menoleh ketika mendengar sebuah suara. Ia melihat seorang nenek berambut putih yang rumahnya hanya terhalang satu bangunan tepat disebelah rumah Hansen. Ia melambai pada Batari.
"Saya, Nek?" Tunjuk Batari pada dirinya sendiri.
Nenek berkulit pucat itu mengangguk. Ia kembali melambai, menyuruh Batari agar menghampirinya.
"Kenapa manggil ya?" Namun tanpa berprasangka buruk, Batari bergegas untuk menghampiri rumah nenek itu.
Setelah sampai di depan pagar kayu setinggi perut orang dewasa, Batari tersenyum pada sang nenek yang sudah menunggunya. Dilihat sekilas, Batari yakin kalau wanita tua ini bukan asli orang Indonesia. Ya, bule.
"Manggil saya, Nek?"
"Iya. Kamu sedang apa di rumah itu, nak?"
Lagi-lagi Batari sedikit terkejut, ternyata nenek itu sangat fasih berbahasa Indonesia. Bahkan ia mendengar sedikit aksen sunda ketika si nenek berbicara. Sekarang Batari jadi punya dua tetangga bule. Haha.
YOU ARE READING
BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]
Historical FictionHantu? Batari sama sekali tak percaya dengan hal semacam itu. Hingga suatu waktu, ia berubah pikiran setelah mengalami banyak kejadian diluar nalar. Pindah kediaman akan menjadi awal kisah antara gadis manis bernama Batari Nalendra Putri dan pemuda...