Bandoeng, 21 Januari 1942.
Siang ini Batari sedang menyuapi William di halaman depan. Namun perhatiannya teralihkan ketika melihat ada seorang pemuda dengan pangsi hitam membuka pintu rumah disebrang kediaman De Vries menggunakan kunci yang dibawanya. Ya, rumah Batari di masanya.
"Itu.. Putra kan?" Gumam Batari pelan.
Ya, benar. Itu adalah Putra. Dengan santainya pemuda itu membuka dua daun pintu dan masuk ke dalam rumah tersebut. Melihat keheranan Batari, Iyam yang tak sengaja lewat langsung menjelaskannya.
"Eta namina Putra, Neng. Selain jadi centeng yang bekerja untuk keluarga De Vries, selama ini memang Putra yang mengurus dan membersihkan rumah itu"
Batari mengangguk mengerti mendengar penjelasan Iyam. "Terus penghuni rumah itu kemana, Ceu?"
Ditanya begitu Iyam terdiam. "Punten Neng, Iyam bade balanja heula"
Setelah mengatakan itu, Iyam berlalu begitu saja dan membuat Batari bingung sendiri. Sepertinya Batari harus melakukan sesuatu untuk menuntaskan rasa penasarannya. Ia segera menyimpan piring diatas meja bundar lalu menghampiri William.
"Wil, tunggu disini sebentar ya. aku mau cek dulu rumah itu, jangan kemana-mana oke" Pesannya.
William hanya mengangguk lugu sambil melanjutkan bermain mobil-mobilan kayu dan boneka barunya. Batari menyebrangi jalan dan sampai di depan rumah yang baru dimasuki oleh Putra. Di masanya, rumah ini memiliki pagar. Tapi sekarang tidak ada penghalang apapun. Setelah halaman depan langsung tersuguh ke jalan. Sama seperti rumah Hansen sekarang.
"Spada.. yuhuu.." Seru Batari pelan ketika mulai memasuki rumah tersebut.
Tidak ada yang berubah. Tata letak dan semua perbendaan di dalam rumah ini ternyata tidak ada yang berubah meskipun sudah berganti masa. Batari terus masuk lebih dalam. Dadanya bergemuruh tak tentu. Rasanya ia sudah pulang ke rumahnya sendiri.
"Hei"
Batari langsung menoleh ke arah tangga ketika terdengar suara. Ternyata itu Putra. Pemuda tersebut tak terlalu menganggap keberadaan Batari, ia fokus membuka kain putih disetiap benda di dalam rumah.
"Sedang apa kamu disini?" Tanyanya ketus.
"Umm, aku mau tanya sesuatu" Ucap Batari lalu membuntuti Putra yang sedang bekerja. "Kamu engga inget aku gitu?" Sambungnya tersenyum lebar.
Putra menghentikan pergerakannya. Ia semakin menggenggam erat beberapa helai kain di tangannya, lalu menoleh pada Batari. "Tidak"
"Bohong!" Tandas Batari semakin menghapus jarak diantara mereka. "Kamu yang waktu itu ngelempar aku pake helm kan? Waktu aku pindah ke rumah ini. Masa kamu engga inget?"
"Tidak" Singkat Putra menatap datar Batari. "Lagipula yang akan pindah ke rumah ini bukan kamu" Ucapnya kembali bekerja.
"Bukan aku?" Batari mengerutkan dahinya bingung. "Emang ada yang mau pindah kesini?" Gumamnya.
"Jika tidak ada urusan, keluar"
Batari merengut kesal ketika dirinya diusir. Bukannya keluar, ia malah melihat-lihat isi rumah. "Kamu bodyguard yang kerja buat keluarganya Hansen ya dimasa ini?"
Putra yang sedang melipat kain putih kembali terdiam. "Keras kepala"
Batari hanya menggedikan kedua bahu ketika Putra menyibirnya pelan. Ia tak terlalu peduli. Sampai tak lama kemudian terdengar suara deru mesin mobil, disusul suara klakson nyaring. Mendengar itu Putra segera keluar, diikuti oleh Batari.
Ternyata diluar sudah ada sebuah mobil di depan halaman. Dari dalamnya keluar sepasang suami istri dan seorang anak gadis berambut coklat. Ya, mereka bangsa kulit putih.
YOU ARE READING
BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]
Historical FictionHantu? Batari sama sekali tak percaya dengan hal semacam itu. Hingga suatu waktu, ia berubah pikiran setelah mengalami banyak kejadian diluar nalar. Pindah kediaman akan menjadi awal kisah antara gadis manis bernama Batari Nalendra Putri dan pemuda...