17. Si Rambut Pirang

68 11 0
                                    

Bandung, 29 Agustus 20##.

Beberapa hari setelah malam dimana Batari menaruh curiga pada Hansen, dirinya belum melihat batang hidung pemuda tampan tersebut sampai detik ini. Berarti sudah terhitung empat hari tidak nampak. Sementara sekarang ini Batari hanya diam termenung di depan meja belajar. Ia memandang kosong rumah disebrang luar sana melalui jendela kamarnya.

"Apa Hansen marah?" Gumam Batari menerka-nerka situasi saat ini.

Ketika sedang gamang memandangi jendela, tiba-tiba Batari menangkap sosok gadis berkulit putih yang mengenakan kebaya di sebrang sana. Ya, di kediaman De Vries. Rumahnya Hansen. Mengerjaplah Batari melihat itu. Ia menyipitkan kedua mata, memperjelas penglihatannya.

"Itu siapa?"

Karena penasaran, Batari menghampiri jendela. Bahkan ia sampai membuka daun jendela untuk melihat lebih jelas siapa yang ada di dalam rumah tersebut. Namun ketika Batari sedikit mencondongkan tubuhnya keluar jendela, tiba-tiba tirai pada jendela rumah disebrang sana langsung tertutup begitu cepat.

Karena saking kaget, Batari reflek menarik tubuhnya sendiri ke dalam. Sampai-sampai membuat kepalanya terantuk daun jendela.

Duk.

"Aduh anjir!" Umpat Batari lalu mengelus belakang kepalanya yang sakit. "Akh, sakit" Ringisnya pelan.

"Deekk!!"

Tak lama kemudian terdengar suara Lokamandala memanggil adiknya. Tak menunggu waktu lama, Batari berlari kecil menuju lantai bawah, ia langsung menghampiri kakaknya yang sedang mengenakan sepatu di ruang depan.

"Kenapa kak?"

Lokamandala yang sudah siap untuk pergi ke kampus, memberikan kunci rumah pada adiknya. "Kata Mama ke kafe sana, bantuin. Soalnya Mbak Mira sama Kang Ikbal lagi absen"

"Anter Riri sekalian kesana berarti ya"

Lokamandala mengangguk singkat lalu membiarkan Batari untuk bersiap-siap. Jika saja dirinya tidak ada jadwal kuliah, pasti dirinya yang akan membantu sang ibu di kafe. Tapi untung saja Batari dari siang ini sampai sore kosong untuk kegiatan di kampus, hingga akhirnya sang adiknyalah yang harus membantu.

Setelah menempuh waktu kurang lebih 15 menit, akhirnya mereka sampai di kawasan Braga. Kemudian Batari masuk ke dalam kafe setelah sang kakak lepas landas menuju kampus. Batari tersenyum ringan mendengar lonceng berdenting nyaring ketika ia membuka pintu.

Treng.

Tanpa basa-basi, Batari langsung menuju meja kasir dan mengenakan apron hitam untuk siap membantu sang ibu yang terlihat sedang melayani beberapa pelanggan.

"Kak!" Panggil seorang remaja yang baru saja masuk dan duduk.

"Iya!" Dengan ramahnya, Batari membawa buku menu dan catatan ke meja pelanggan yang dituju.

*****

Kini waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktunya kafe tutup. Sementara Retania dan Batari terlihat begitu kompak sedang istirahat di meja paling pojok kafe. Mereka berdua bersandar bersampingan sembari memperhatikan sebuah lukisan besar yang terpampang di dinding depan mereka. Melepas lelah.

"Lukisannya aja cantik ya Ma, apalagi aslinya" Ungkap Batari lirih.

Sedangkan Retania tersenyum sembari tak melepas pandangannya dari lukisan di hadapannya. "Cantik. Banget. Orangnya juga baik malah"

"Baik?" Batari langsung menoleh pada sang ibu. "Emang Mama pernah ketemu gitu? Tapi disana, tulisannya kalau lukisan itu dibuat taun 1918. Berarti orangnya udah engga ada dong?"

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now