23. Terjebak Di 1941

80 12 0
                                    

"Masuk, Neng"

Batari mengangguk saat Kartika menyuruh untuk masuk ke dalam rumahnya. Meskipun tidak semegah rumah yang sebelumnya, tapi bangunan ini terlihat lebih layak dibanding gubug-gubug disekitarnya. Ketika gubug lain masih terbuat dari lempengan kayu yang disebut semi permanen. Rumah Kartika sudah terbuat dari tembok seluruhnya, bahkan lantainya saja sudah dilapisi keramik tegel.

Kartika mengajak Batari dan kedua anaknya untuk masuk ke dalam sebuah kamar. Disana ia duduk bersampingan dengan Batari yang terlihat masih bingung dan linglung.

"Ceritakan pada Mama, kenapa bisa sampai seperti ini?" Tanya Kartika menatap Fleur dan Batari bergantian.

Fleur melirik Batari sebelum menceritakan yang sebenarnya. "Saat itu Batari sedang mengasuh Wil seperti biasa di halaman depan dan waktu Batari menaiki ayunan, dia terjatuh ke belakang. Kepalanya terbentur langsung ke tanah" Jelasnya.

"Ayunan? Dih, ngarang nih cewek bule, kapan aku main ayunan?" Gumam Batari bingung.

Melihat gelagat Batari, Kartika kembali bertanya untuk meyakinkan. "Neng, sungguh tidak ingat?"

Batari menggeleng. "Engga, Bu. Cuma ini kepala bagian belakang agak sakit sedikit sih" Adunya lugu.

Fleur menahan nafasnya sesaat. "Kalau kamu lupa kejadian tadi, apa kamu juga lupa dengan kami?"

Kali ini Batari kembali menggeleng sambil cengengesan. Ia memang benar-benar tak mengenali tiga orang yang ada di hadapannya sekarang. Sedangkan Kartika tatapannya kini berubah menjadi panik.

"Jika si Herman tidak mau datang, Mama akan panggil dokter lain" Geram Kartika kesal.

Namun belum sempat Kartika berdiri, Batari segera menahan lengan wanita itu untuk kembali duduk. "Umm, tunggu nih Bu. Sebelum ngehubungin dokter lain, ada yang mau saya tanyain"

"Bertanya maksudmu?" Ralat Kartika yang sedikit asing dengan tata bahasa.

"Iya" Batari mengangguk sambil tersenyum canggung. "Maaf nih sebelumnya, bukan maksud saya engga sopan atau gimana. Saya bukan lupa sama kalian, tapi saya emang sama sekali engga kenal sama kalian"

Mendengar itu, William yang berdiri di tepi ranjang langsung membenamkan wajahnya ke atas kasur. "Batari bicara aneh, Wil tidak suka!" Pekiknya dengan suara teredam.

Seakan teringat sesuatu, Batari menjentikkan jarinya. "Oh! Ralat. Kecuali Hansen. Saya kenal sama Hansen karena dia tetangga saya"

Fleur mengerutkan dahinya bingung. "Aksen bicaranya.. berubah" Gumamnya.

"Oiya, saya mau tanya. Kalau boleh tau, saya lagi ngapain ya bisa sampe jatoh gitu?" Tanya Batari penasaran.

"Kamu sedang mengasuh Wil seperti biasa" Jawab Fleur seadanya.

Tatapan Batari langsung mengarah pada William yang sedang menatapnya lugu. Kemudian ia terkekeh tiba-tiba. "Ahahaha, jangan becanda ah. Orang saya engga kenal sama anak ini, ngasuh gimana coba"

Kartika dan Fleur kembali saling melempar pandangan. Mereka sungguh tidak mengerti dengan kondisi Batari sekarang. Apakah jatuh dari ayunan akan menimbulkan luka separah ini?

"Tugasmu.. memang mengasuh William. Karena kamu seorang babu di rumah Papa" Jelas Fleur apa adanya.

Mengangalah mulut Batari mendengar itu sambil geleng-geleng kepala. "Astagfirullah, kalau ngomong itu dijaga kak. Masa iya Mama saya nyekolahin sampe S1 cuma buat jadi babu"

Kartika yang semakin khawatir melihat gadis di depannya hanya meringis. "Neng, nyebut"

"Udah kan Bu, tadi" Timpal Batari.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now