29. Hansen vs Aryan

36 9 0
                                    

Tjimahi, 12 Desember 1941.

Selama rapat berlangsung, Aryan terlihat tidak terlalu fokus mengikuti jalannya kegiatan tersebut. Ia berkali-kali mengetuk pena pada kertas di hadapannya, sampai-sampai pria Belanda yang duduk disebelahnya menoleh karena merasa terganggu.

Menyadari hal tersebut, Aryan langsung terdiam. "Sorry" Ucapnya.

Sial. Selama belasan tahun tumbuh bersama, baru kali ini Aryan melihat Batari mengenakan pakaian selain kebaya. Dan sialnya lagi, kenapa gadis itu terlihat biasa-biasa saja di hadapan laki-laki? Padahal setahunya, Batari sangat sopan dan menjaga cara bicara juga berpakaian di depan semua orang.

"Ck. Batari, ada apa denganmu?" Gumam Aryan pelan.

Setelah rapat usai, satu persatu dari mereka mulai keluar dari ruangan. Kecuali Aryan. Pemuda itu baru bangkit dari kursi setelah menyadari Thomas menghampirinya. Ayah dari sahabatnya itu terkekeh pelan sambil menepuk pundak Aryan.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?"

Aryan menggaruk ujung alisnya malu. Rupanya keresahan Aryan terlalu kentara untuk disimpan sendiri. Hingga akhirnya ia menggeleng. "Ndak ada"

Thomas mengangguk. "Baiklah, setelah ini saya harus langsung ke Braga"

"Baik, silakan. Sepertinya aku akan menunggu Hansen sebentar lagi"

"Hahaha, kalian memang selalu saja saling tunggu dari kecil" Ujar Thomas kembali menepuk pundak Aryan. "Ya sudah, mungkin Hansen akan selesai sebentar lagi. Saya pamit dulu"

Aryan sedikit membungkuk sambil tersenyum. "Silakan, Tuan. Semoga perjalanan anda lancar"

"Ya, ya, ya, sampaikan salam saya untuk Papamu sepulang dari Batavia"

"Baik, Tuan. Akan aku sampaikan pada Romo di rumah" Balas Aryan sebelum Thomas benar-benar pergi.

Sepeninggalan Thomas, Aryan menuju ke mobil sedan miliknya. Ia berencana untuk menyusul Hansen, hitung-hitung keliling di kota pusat militer sambil menunggu sahabatnya itu selesai bertugas. Sesampainya di tempat tujuan, Aryan turun dari mobilnya.

Belum ada lima menit Aryan meresapi keindahan kota militer ini, dari ujung bangunan serba putih disana muncul seseorang yang ditunggunya. Hingga akhirnya mereka memutuskan mampir ke sebuah tempat makan bernuansa tionghoa di pinggir jalan sebelum pulang ke Bandoeng.

"Permisi, Tuan"

Tak lama kemudian gadis tionghoa muncul membawa pesanan. Sebotol bir ukuran sedang untuk Hansen dan satu cangkir besar wedang jahe untuk Aryan. Gadis yang mengenakan pakaian merah ketat sepaha itu mengerling pada Aryan.

Tak menanggapi sikap usil si pemilik kedai, Aryan tersenyum sambil memperlihatkan cangkir. "Terimakasih"

Ketika gadis itu beralih pada Hansen dan hendak mengerling juga, dengan santainya pemuda itu mengeluarkan pistol dari dalam seragam dan menyimpannya diatas meja.

"Duibuqi" Melihat hal tersebut, si gadis tionghoa langsung meminta maaf dan segera pergi.

"Hahahah" Aryan tertawa pelan melihat tingkah konyol sahabatnya ini. "Kamu terlalu berlebihan" Serunya lalu menyesap wedang jahe pesanannya.

Hansen yang menuangkan bir ke gelas kecil ikut terkekeh pelan sambil menggeleng. "Perempuan seperti itu hanya butuh uang kita saja"

Sembari menenggak minuman masing-masing, mereka sejenak terdiam melihat pemandangan siang menjelang sore di kawasan tersebut. Kemudian Hansen menghela nafas sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi kayu yang didudukinya.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now