36. Tugas Tentara KNIL

33 11 1
                                    

Tjimahi,  05 Januari 1942.

Sore ini beberapa tentara KNIL terlihat masih berkeliling di daerah pemukiman. Begitupun dengan Hansen. Ia menyusuri beberapa rumah warga untuk memeriksa jika ada yang janggal. Namun sejauh ini semuanya aman terkendali. Tak ada yang aneh. Tak ada yang berulah.

Ketika Hansen berhenti untuk menghilangkan lelah sejenak, fokusnya teralih saat mendengar suara tawa. Hansen menoleh, ternyata tidak jauh darinya ada seorang pemuda yang sedang dikerumuni beberapa anak kecil. Yaitu pemuda yang ikut bertugas, pemuda yang menjadi centeng bagi keluarga De Vries.

Satu persatu anak-anak itu mulai pergi setelah mendapat dua biskuit yang masing-masing mereka terima dari pemuda baik hati tersebut. Hansen mendekat untuk melihat siapa orang itu. Ternyata dia adalah Putra.

Mengetahui kedatangan seseorang, Putra tersenyum sambil menepuk kepala beberapa anak yang masih berkumpul. "Dilanjut nanti ya, sekarang kalian pulang. Sudah sore" Ujarnya.

Setelah tinggal mereka berdua, Putra bangkit dari posisi jongkoknya. Ia bangkit dan menarik satu langkah ke belakang dari tempat Hansen berdiri sambil memandangi beberapa rumah gubug di hadapannya.

"Saya.. belum bilang terimakasih"

Putra menghela nafas sambil mengeratkan genggamannya pada golok yang selalu setia menemani. "Bukan masalah, Meneer" Singkatnya.

Kemudian Hansen menoleh. "Kamu.. pernah bertemu dengan Batari sebelumnya?" Tanyanya.

"Batari?" Putra menaikkan sebelah alisnya.

Hansen mengangguk singkat. "Iya. Perempuan yang ada pada malam itu juga"

Putra ikut mengangguk setelah mengingat ada Batari pada malam itu. Kemudian ia menoleh ketika mendengar Hansen menghela nafas cukup panjang.

"Saya harap semuanya berakhir dengan baik" Ucap Hansan sambil kedua matanya menerawang jauh.

"Tentang apa, Meneer?"

"Tentang semuanya. Tentang ekonomi Hindia, kemakmuran yang merata, dan juga perdamaian orang-orang kita"

Putra terdiam sesaat mendengarnya. "Jika semua itu butuh pengorbanan, Meneer siap?"

Hansen balas menoleh pada Putra yang memang tengah menatapnya. "Kalau itu harus, kenapa tidak. Bukankah sebelumnya juga banyak yang sudah berkorban untuk negeri ini?"

Putra kembali terdiam. Lalu senyumnya sedikit mengembang. "Kalau begitu bersiaplah, karena peperangan yang sebenarnya baru akan dimulai"

Setelah berucap begitu, Putra berlalu untuk berkumpul bersama beberapa centeng lain yang memang ikut bersama Tuan mereka bertugas seperti dirinya sekarang. Sedangkan Hansen terlihat mencoba berusaha memaknai apa yang Putra utarakan barusan.

"Hey, Hansen!" Panggil seseorang membuat Hansen langsung menoleh. Ternyata itu adalah Cornelis.

"Generaal Poorten zei dat we naar zijn kamer moesten gaan" Sambung Cornelis.

Hansen terdiam. Tumben sekali atasannya itu menyuruhnya untuk langsung ke ruangan, biasanya jika memberi tugas cukup melalui utusannya saja. Tanpa banyak tanya akhirnya Hansen segera menuju ruangan Jenderal Poorten.

Setelah beberapa lama di ruangan tersebut, pintu ruangan terbuka. Dari dalamnya keluar Hansen dan Cornelis. Mereka berdua saling tatap setelah mendengar tugas selanjutnya yang harus dilakukan. Sementara Putra yang menunggu didekat pintu hanya bisa terdiam setelah mendengar perbincangan barusan.

Cornelis mengangkat kedua bahunya pasrah. "Good luck" Ucapnya enteng kemudian pergi begitu saja.

Disusul Putra. Pemuda berambut hitam legam itu mengangguk pada Hansen sebelum ikut berlalu juga. Dari situ, Hansen menuju pusat panggilan untuk memantau keadaan di rumahnya. Sesampainya disana ia memutar beberapa nomor pada telepon dan tak lama kemudian sambungan terhubung.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now