30. Tragedi Awalan

39 10 11
                                    

Bandoeng, 20 Desember 1941.

Kini waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, seluruh penghuni di kediaman De Vries sepertinya sudah berada di alam mimpi masing-masing. Kecuali satu orang. Di kamarnya, dia hanya diam ditepi ranjang dengan isi kepala yang semrawut kacau. Orang itu adalah Batari.

"Kalau Hansen sama yang lainnya di masa depan jadi hantu, terus mereka meninggalnya kenapa ya?" Gumamnya bingung setengah mati.

Batari langsung mengacak rambutnya kesal. "Ck, lagian kenapa harus kelempar di jaman ini sih? Berubah nama jadi Indonesia aja belum, merdeka aja belum. Ah, gila nih kalau lama-lama begini mah"

Sedetik setelah menyelesaikan keluhannya barusan, Batari langsung berdiri dan teringat sesuatu. Wajahnya terlihat begitu kaget dan panik sendiri.

"Tunggu, tunggu. Ini masih jaman penjajahan Belanda, terus.. bukannya masih harus ngalamin penjajahan Jepang ya? Kalau engga salah Jepang disini tuh selama 3.5 taun kan? Kalau Indonesia merdeka taun '45, berarti Jepang bakal datang ke sini.."

Batari segera menghitung beberapa jemari tangannya. Setelah mendapat jawaban, mulutnya menganga lebar. Alisnya juga mengkerut. "Ha! Berarti Jepang masuk ke sini sekitar taun 1942-an?"

Batari membekap mulutnya sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya tersebut. Ujung gaun tidur putihnya yang sebatas betis ia remas tak karuan. Tidak bisa. Batari harus segera pulang ke masanya sebelum kejadian itu terjadi. Kenapa? Karena setahunya dari buku sejarah, masa penjajahan Jepang sangatlah mengerikan. Meski waktunya singkat, hal itu sukses memberikan mimpi buruk bagi penduduk Hindia Belanda. Terutama bagi kaum perempuan.

Ketika Batari menghampiri pintu dan membukanya hendak keluar, ia dikagetkan karena seseorang sudah berdiri dibaliknya. Orang yang tangan kanannya terangkat hendak mengentuk pintu itu juga terdiam kikuk ketika si pemilik kamar keluar tiba-tiba.

"Hansen?"

Pemuda itu mengusap tengkuknya. "Umm.. kamu tidak tidur?"

Batari menggeleng. "Aku engga bisa tidur. Terus kenapa kamu ada disini?"

Hansen menggedikkan sebelah bahunya. "Saya tidak bisa tidur juga"

Batari mengangguk singkat merespon ucapan Hansen. Tak lama kemudian hening menyelimuti mereka berdua. Batari menggembungkan pipinya, ikut canggung. Kenapa rasanya berbeda ya, Hansen di zaman ini dengan Hansen di zamannya.

"Saya mau tanya"

Hingga akhirnya mereka berdua menuju ruang depan untuk sekedar berbincang ringan. Hansen dan Batari berdiri tepat didekat jendela besar yang menampilkan langit malam yang kosong dari benda angkasa. Sedangkan di tangan masing-masing menggenggam secangkir teh hangat.

"Tanya apa?"

Hansen menoleh ketika Batari membuka obrolan. Namun ia kembali memandangi langit malam sambil tersenyum tipis. Jika Batari lihat, pandangannya seperti sedang menerawang jauh.

"Kamu ingat tidak? Waktu kecil kamu dituduh mencuri" Ungkap Hansen sembari terkekeh kecil.

"Nyuri?" Ulang Batari bingung. Ia berusaha mengingat hingga kedua matanya membulat setelahnya.

Hei, kamu mau mencuri ya?!

Sebuah suara tiba-tiba berdengung dari dalam kepalanya. Jadi kejadian Batari mencuri roti waktu itu bukan hanya sekedar mimpi? Jadi itu benar adanya? Jadi Batari sudah berada di masa ini sejak dirinya kecil?

Romo, anak ini mau mencuri!!

Degup jantung Batari berpacu sedikit lebih cepat saat suara tadi kembali menggema dalam ingatannya. Batari ingat, anak kecil yang menuduh mencurinya adalah anak laki-laki yang mengenakan pakaian adat jawa. Bukankah anak itu..

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now