XX

577 87 8
                                    

Irene: Alunan. Abang, Marcus sama Adek udah landing 1 jam yang lalu. Tolong kamu urus mereka dulu. Ibu sama Tante Vio nanti nyusul.

Aluna : Iya bu, Luna udah di lobby hotel

Irene: Udah sarapan kamu ?

Aluna : Nanti bu, nunggu mereka aja.

Irene: Adek nanti jangan dikasih minum kopi dulu ya, kemarin dia ngeluh perutnya sakit.

Aluna: Iya bu.

Aluna menghela nafas setelah Irene gak membalas chat darinya lagi. Dia sebenarnya ngantuk parah. Kemarin malam dia gak tidur karena harus mempelajari bahan diskusi untuk meeting hari ini, soalnya ini pertama kalinya Tante Vio ikut dalam meeting sebagai owner dari proyek resort yang belum diketahui namanya ini. Sebagai seorang pekerja yang perfeksionis, Aluna harus bisa membuat kliennya percaya dan puas atas mereka. Walaupun yang ia hadapi adalah Tante Vio yah, yang baik hati bukan main.

Mata Aluna sedikit menyipit saat mendapati tiga laki-laki jalan petantang-petenteng dengan dua diantaranya menyebarkan aura permusuhan yang kental.

Aluna menutup matanya meningat apa saja yng Jovan adukan padanya selama delapan hari belakangan ini. Udah kayak wartawan kejar tayang. Semua Jovan laporkan dari masalah kantor yang penting sampai mesin fotocopy yang rusak.

Like hell, emang sepenting apa itu mesin fotocopy sampai Aluna harus tahu ??

Mana sampai direkam kayak live report.

Kelakuan random Jovan tuh kadang membuat Aluna gedeg bukan main.

"Yang lain mana? Kok cuman kalian bertiga?" Tanya Aluna agak bingung, soalnya yang dia tahu untuk meeting hari ini bakal ada Bintang dan Keisha juga dua anak magang. Oh, Ibu Irene juga ikut.

"Mereka ke hotel duluan, Mba. Nge-drop barang sama mandi dulu kata Keisha" jawab Jovan saat mendapati kedua kakaknya gak ada yang bicara.

"Barang kalian ?" Sekarang Aluna udah berada di depan Jovan, lagi ngebenerin kerah kemeja Jovan sama rambut si bungsu yang sedikit kacau.

Kebiasaan.

"Tadi dititipin sekalian." Jawab Jovan lagi dibuahi anggukan paham oleh Aluna.

Sekarang mata Aluna jatuh pada kedua orang disebelah Jovan. Aluna menerbitkan senyum miring dan tatapan jenaka saat melihat sedikit memar disudut kanan bibir Jeffrey.

"Kemarin katanya ada yang berantem. Itu kalian ya?" Celetuk Aluna yang udah beralih ke hadapan Jeffrey sama Marcus. Jovan memilih untuk melipir. Takut. Soalnya yang memberikan informasi tentang Jeffrey dan Marcus yang berantem fisik itu dia.

Kemarin malam, Jeffrey sama Marcus tiba-tiba saling pukul pas udah dirumah. Untung cepat dipisahin sama beberapa asisten rumah dan juga satpam kediaman mereka. Irene udah nangis bombay ngelihat kedua putranya saling pukul.

Tangan Aluna terangkat untuk memegang memar disudut bibir Jeffrey. Dan bagaimana respon Jeffrey ? Ya dia diem aja lah, kapan lagi diperhatiin sama Aluna.

"Sakit gak ?" Tanya Aluna dibalas gelengan oleh Jeffrey. Mata Aluna sedikit melirik ke arah Marcus sekarang.

"Tangannya gak sakit ? Itu merah loh" Ujar Aluna yang kini membelah fokusnya pada Marcus.

Ya gini deh kebiasaan Aluna. Dia tuh berasa kayak babysitter kalau udah dihadapkan sama semua anak lanang Irene. Semuanya harus Aluna beri perhatian yang sama. Kalau tidak nanti ada yang marah sampai ngadu ke Irene. Kalau yang ngadu itu cuman bagian Jovan sih.

Marcus gak menjawab lebih tepatnya enggan karena disampingnya masih ada Jeffrey. Aluna yang udah paham diluar kepala akhirnya meminta Jeffrey untuk bergabung dengan Jovan yang entah lagi ngapain.

"Sakit gak ?" Ulang Aluna.

"Ya sakit, namanya juga berantem" cicit Marcus. Aluna selalu bisa membuat dirinya jujur akan apa yang ia rasakan.

"Jadinya gak usah sok-sokan adu otot!!" Cibir Aluna, dia lalu mengambil sebuah salep yang sudah ia kantongi. Dia udah siapin ini daritadi malam. Tahu kalau kedua kakak beradik itu keras kepala dan pasti gak ada yang mau diobatin.

Setelah selesai ngebalurin salep ke buku jari Marcus dan memastikan laki-laki itu udah rapi. Aluna lagi-lagi harus mengurus si sulung. Ia juga memastikan durasi mereka yang tersisa sebelum meeting dimulai.

Dua jam.

Aluna masih punya waktu dua jam untuk mempersiapkan ketiga bayi besar Ibu Irene.

"Boys, kita sarapan dulu. Setelah itu brief sedikit" perintah Aluna yang dibuahi anggukan setuju.

"Jeffrey" panggil Aluna, setelah memastikan Jovan dan Marcus lebih dulu berjalan meninggalkan mereka.

Aluna menatap Jeffrey lamat.

Lagi-lagi Aluna harus membenarkan teori Keisha.

Tentang bahagia yang bisa menjadi pintu untuk dirinya berdamai dengan mimpi buruknya.

Sekarang menatap Jeffrey tidak seberat sebelumnya. Dia sudah bisa menatap Jeffrey seperti biasa walau Aluna gak memungkiri selalu saja ada bayang-bayang kejadian saat Jeffrey mengkhianatinya.

Tapi sekarang gak seburuk sebelumnya.

"Come, walk with me." Tangan Aluna terulur pada Jeffrey bersamaan dengan timbulnya senyum simpul diwajah Aluna.

Untuk orang lain senyum itu punya sejuta arti. Tapi untuk Aluna sendiri senyumnya hanya punya satu arti.

Mengikhlaskan.

Bet on UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang