Sembilan belas

35 6 2
                                    

Semua terlihat begitu sempurna, Luka yang sempurna, air mata yang mengalir sempurna dan isak pilu yang terdengar sempurna. Sesempurna itu bukan?

•••••••••

"Kok Lo gak ikutan bully Gue kayak Fian sama teman-temen Lo yang lain?" Tanya Zaufa tiba-tiba.

"Dan kenapa Lo belain Gue di depan Fian?" Tanya Zaufa lagi.

"Lo butuh jawaban?" Tanya Faro, sambil menatap ke arah Zaufa.

"Tentu, dan gue yakin setiap pertanyaan punya jawabannya,"  Balas Zaufa.

"Tapi gak semua jawaban harus Lo tau Fa," Bales Faro

Zaufa terdiam sesaat, setelahnya Ia mengangguk singkat.

"Lo udah tau dari dulu kalo Fian mau bales dendam sama Gue?" Tanya Zaufa.

Dan sebagai jawaban Faro mengangguk. Sambil beralih menatap lurus ke arah danau.

"Dulu Gue setuju, dan dukung Fian, tapi makin kesini Gue sadar bahwa itu salah," Ucap Faro tanpa melihat ke arah Zaufa.

"Gue mau pulang," Tiba-tiba Zaufa berdiri dari duduknya. Hal itu membuat Faro ikut bangkit dari duduknya.

"Gue anterin," Tawar Faro

"Enggak usah, Gue bisa sendiri," Ucap Zaufa menolak

"Gue tau, tapi ini perintah, gue gak pernah nawarin, ayo." Faro menarik tangan Zaufa untuk mengikutinya.

Mau tidak mau, Zaufa hanya bisa pasrah, dia pun menerima ajakan Faro untuk pulang bersama.

Namun di sisi lain, di balik pohon besar tak jauh dari keduanya berdiri. Sebuah netra tajam menatap keduanya dengan tatapan tidak suka, tangan seseorang itu mengepal kuat.

Faro mengantarkan Zaufa pulang ke rumahnya, menggunakan motor miliknya.

Beberapa menit dalam perjalanan, di atas motor tercipta sebuah perbincangan di antara keduanya, keduanya kini terlihat seru membicarakan suatu hal.

Hingga Faro berhenti tepat di depan rumah mewah, dan Zaufa turun dari motor milik Faro.

"Gih masuk," Ucap Faro yang masih duduk di atas motornya.

"Makasih, oh ya nama lo? Dari tadi kita ngobrol tapi Gue gak tau nama Lo siapa," Ucap Zaufa. Zaufa memang tidak mengetahui nama dari cowok yang sedari beberapa jam lalu bersamanya itu.

"Gue, Elfaro Samudra, panggi aja Faro," Ucap Faro memperkenalkan dirinya pada Zaufa. Mendengar itu, Zaufa tersenyum singkat.

"Oke, sekali lagi makasih Faro," Ucap Zaufa. Faro mengangguk sebagai jawaban.

"Ya udah hati-hati di jalan," Ucap Zaufa lagi.

"Lo masuk, setalah itu Gue pergi," Ucap Faro sambil sedikit tersenyum.

Mendengar itu, Zaufa menggelengkan kepalanya sedikit heran dengan tingkah Faro itu.

"Ya udah gue duluan." Zaufa pun berjalan menuju ke dalam rumah mewah itu, satpam di rumah Zaufa membukakan pintu rumah Zaufa.

Faro masih diam di atas motornya, hingga saat Zaufa sudah lenyap di balik pintu rumah nya, Faro menyalakan motornya kemudian pergi meninggalkan rumah itu.

Di sisi lain, Fian yang kini sedang berada di sebuah tempat yang biasa Ia datangi bersama Zaufa, yang jelas tempat itu tidak berada di taman yang sama dimana Fian mem-bully Zaufa tadi.

Fian duduk di sebuah rumah pohon, sambil menatap lurus ke arah danu luas di depannya itu. Beberapa kali terdengar sebuah helaan napas berat dari cowok itu.

"Fian bingung kak, Fian bingung dengan perasaan Fian sendiri," Gumam Fian.

Angin halus berhembus, menerpa rambut pendek hitam milik cowok itu, hidung mancung, bibir tipis dengan alis tebal dan tatapannya yang tajam mampu membuat siapa pun yang melihat cowok itu terpanah. Namun siapa yang menyangka, dibalik paras yang tampan lagi memikat itu, cowok itu di selimuti dendam yang dalam.

Fian ragu dengan perasaanya pada Zaufa, kalian tau. Fian tidak benar-benar membenci Zaufa, Fian tidak benar-benar ingin menghancurkan gadis itu.

"Maaf Tuan Putri, maaf telah mengingkari janji itu," Fian bergumam lirih.

"Argghhh! Semesta! Kenapa harus serumit ini takdir Gue!" Teriak Fian, Fian melepas semua amarahnya pada semesta.

Bagi Fian semesta itu jahat, semesta hanya bisa menemani tampa mampu memberi solusi, sama halnya juga dengan udara memberi kehidupan namun tidak bisa menghidupkan secara nyata hati yang sudah mati.

Terlepas dari Fian, kini Zaufa tengah menangis di dalam kamarnya, Zaufa menangis tanpa suara.

"Zaufa benci Fian, tapi Zaufa juga cinta Fian. Arghh semesta! Kenapa semua harus terulang!" Zaufa berteriak histeris. Namun teriakan itu hanya redup terdengar oleh dirinya sendiri saja.

Bagi Zaufa, semesta adalah penonton setia kisah hidupnya. Zaufa menjadikan semesta sebagai teman, Ia bercerita pada semesta tapi semesta tidak bisa memberi solusi bagi masalahnya.

Zaufa berjalan menuju ke arah cermin bersar di kamarnya, kini terlihat wah Zaufa sudah kusut dan terlihat pucat, penampilannya yang juga sudah berantakan.

"Hhhh lihat, orang Lemah ini, menangis sendiri, terlihat menyediakan sekali."  Zaufa tertawa miris meratapi keadaanya sekarang.

Zaufa yang dulu kembali, Zaufa yang lemah dan hancur itu kembali dengan luka yang lebih besar.

Drit...
Drit..

Sebuah panggilan di layar hpnya, membuat Zaufa tersadar dari lamunannya. Zaufa mengambil HP nya dengan lemah, dengan tangan yang masih gemetar dan dengan jejak air mata yang masih belum kering.

"Halo Dek, kamu di mana kok jam segini belum balik ke markas," Ucap seseorang dari sebrang sana. Orang itu adalah satria.

Zaufa masih diam dia berusaha menetralkan suaranya agar kembali terdengar ceria.

"Dek, kamu baik baik aja kan?kamu dimana sekarang? Tunggu kakak jemput sekarang," Ucap Satria dengan nada paniknya.

"Nggak usah kak, aku udah di rumah kok, tadi aku mutusin buat pulang naik taksi habisnya Zaufa capek," Ucap Zaufa dengan sura serak.

"Kamu kenapa Dek? Suara kamu serak kamu sakit? Kamu kenapa, kamu habis nangis, siapa yang nyakitin kamu? Fian?" Tanya Satria tanpa jeda.

"Jawab kakak Fa!" Tekan Satria.

"Aku gak papa kak, serius, aku aja sekarang lagi senyum," Ucap Zaufa berbohong.

"Kamu gak bisa bohongin kakak Dek, sekarang kakak pulang. Setelah samapai di sana kamu harus cerita." Setelah mengucap kan itu. Satria memutuskan sambungan telpon itu dengan sepihak.

Zaufa kembali diam tak bergeming, dia berjalan ke arah kasurnya dan membanting badannya di atas kasur empuk miliknya. Dengan air mata yang masih membekas di pipinya, Zaufa memejamkan matanya kemudian ia terlelap.

Benar kata Orang-orang, tidur yang paling damai, adalah saat kita baru berhenti menangis, dimana otak kita beristirahat memikirkan semua hal.

Sederhana saja bukan, cara mengistirahatkan diri? Cukup menangis dan pejamkan mata,kita akan tertidur dengan sendirinya.

Sederhana saja, luka itu tercipta dari harapan yang bertentangan dengan realita. Kita terluka oleh harapan yang kita buat diikuti harapan semu yang di datangkan orang lain.

Menurut mereka cinta itu indah, tapi tanpa sadar cinta yang terlalu besar menghadirkan luka yang besar pula.

"Mulai sekarang aku akan berhati-hati dalam menaruh rasa, agar aku tidak terus-terusan terluka" _Zaufa_

......

Assalamu'alaikum...
Apa kabar kalian?
Semoga sehat selalu ya, tunggu terus kelanjutan kisah Zaufa dan Fian.

Salam Literasi..

ZAUFIAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang