Dua puluh sembilan

37 2 0
                                    

Kepercayaan itu mahal harganya, sekali kamu berbohong maka kamu di cap sebagi pembohongan, sekali kamu berkhianat makan kamu akan tetap di cap sebagian penghianat.

.........

Pagi datang dengan membawa kehangatan dan sinar terang dari sang mentari di atas sana, langit yang membiru terlihat begitu cerah ditambah dengan awan putih di atas sana.

Pagi ini semua orang di seluruh penjuru kota sendang bersiap-siap untuk melakukan rutinitas pagi mereka, ada yang berkerja, sekolah dan lain sebagainya. Sama halnya dengan Zaufa, gadis itu kini tengah dilanda rasa cemas, Ia terduduk di meja makan bersama para keluarganya, sambil memandang ke arah luar rumah lewat jendela kaca di sana.

Suasana saat itu tidak hening lantaran sura alat makan yang terdengar, hingga suara serak muncul dan membuat mereka berhenti memakan makanannya.

"Apa benar, Fian telah menyakiti kamu Zaufa?" Tanya sang Ayah, si pemilik sura serak itu.

Zaufa menunduk takut, suara Ayahnya terdengar seperti sedang menahan amarah.

"Benar Ayah, Fian itu bregs*k!" Bukan Zaufa yang menjawab melainkan Lio.

"Ayah tidak meminta mu berbicara Lio, Ayah hanya ingin mendengar jawaban itu dari mutu Zaufa," Ucap Sang Ayah.

Lio yang mendengar tuturan sang Ayah, terdiam kemudian tertunduk. Lio tau sekarang Ayahnya sedang menahan Amarah.

Mendengar itu, Zaufa pun bersuara.

"Ya Ayah," Jawab Zaufa dengan sura pelan dan terdengar bergetar.

Brak...

Sang Ayah mengebrak meja makan, hingga menimbulkan sura yang begitu keras dan nyaring. Terlihat raut wajah sang Ayah memerah padam.

"Kurang ajar anak itu!" Ucap sang Ayah.

Semua orang terdiam, suasana pun hening, mereka tidak ada yang berani bersuara lagi, karena takut sang Ayah akan makin marah.

Di tengah keheningan itu...

Tak..
Tak..

Suara langkah kaki terdengar, dan tidak lama menampakkan seorag bocah laki-laki yang turun dari datang, sambil menenteng tas ransel kecilnya yang berwarna hitam.

Mata bocah itu menyipit sambil melihat satu persatu orang-orang yang berdasarkan di meja makan itu.

"Tadi ciapa yang pukul meja? Ndak tau apa Ano jadi taget! Untung Ano macih idup nggak celangan jantung, tadi ciapa yang pukul!?" Ucap bocah laki-laki itu sambil semakin menyipitkan matanya.

"Ano, duduk," Kata sang Ayah, yang berusaha meredakan emosinya. Ano  yang baru menyadari sang Ayah yang terlihat sedang emosi itu, mendadak nyali bocah itu menciut, diapun dengan segera duduk di dekat sang Bunda.

"Ayah celem kalo malah tayak cinga," Batin Ano.

Lio menatap singkat ke arah Ano, kemudian kembali menunduk.

"Ni bocah kenapa demen banget jadi iklan dah, untung kagak dikeluarin dari KK lu cil," Batin Lio.

Suasana kembali hening, hingga sura klakson dari depan rumah membuat Zaufa kaget.

Dengan segera sang Ayah mengecek ke depan, di susul oleh Zaufa sedangkan yang lainya diminta oleh bunda untuk tetap diam.

Saat keluar dari halaman rumah, kemudian membuka gerbang, terlihat sosok seorang remaja laki-laki berseragam SMA, duduk di atas Motor, kehadiran orang itu mampu membuat sang Ayah naik pitam.

"Ayah.." Ucap orang itu kemudian berniat menyalimi tangan sang Ayah, namun dengan segera di tepis kasar oleh sang Ayah.

"Berani kamu datang ke sini! Setelah apa yang kamu perbuat pada putri saya!!" Sang Ayah menarik kerahasiaan baju orang itu yang membuat orang tersebut turun dari motornya.

Orang itu tak lain adalah Fian, Fian yang mendapat perlakuan seperti itu sedikit terkejut, rupanya Ayah Zaufa telah mengetahui semuanya pikir Fian.

Bugh...

Sebuah pukulan keras mendarat di rahang Fian, hingga membuat remaja itu tersungkur ke tanah.

"Kamu sudah berjanji untuk menjaga putri saya, tapi apa! Kamu ingkari janji itu.."

Bugh...

Pukulan keras kembali dilayangkan sang Ayah pada wajah Fian.

Fian hanya diam tidak bisa berkata apa-apa, memang benar dia memang bergas*k.

"SEKARANG PERGI KAMU DARI HADAPAN SAYA, DAN JANGAN PERNAH TEMUI ANAK SAYA LAGI, SEBELUM SAYA HABISI KAMU DI TEMPAT INI!" Bentak sang Ayah dengan sura yang begitu besar.

Sang bunda dan yang lainya yang berada di dalam rumah itu sontak terkejut.

Sang Ayah dengan cepat menyeret Zaufa masuk ke dalam rumah, Fian tidak bisa berbuat apa-apa Dia pun memutuskan untuk pergi dari sana, sebelum para abang Zaufa ikut keluar.

Zaufa terdiam, jujur di hati kecilnya dia begitu tak tega melihat Fian yang babak belur dipukuli oleh Ayahnya tadi.

Sesampainya di depan pintu rumah, mereka masuk dan sang Ayah menutup pintu dengan kasar.

"Ada apa Ayah?" Tanya Satri, disusul oleh Lio dan juga Luiz, sementara sang bunda membawa Ano masuk ke dalam kamarnya.

"Anak itu beraninya dia datang ke sini lagi," Ucap sang Ayah yang masih tersulut emosi.

"Fian?" Batin ketiga orang itu.

Zaufa hanya bisa menunduk takut, melihat kemarahan sang Ayah.

"Zaufa, jangan pernah kamu dekat-dekat lagi dengan anak itu, Ayah sudah memindahkan kamu ke kelas lain agar tidak satu kelas dengan anak itu," Ucap sang Ayah. Bahkan kini sang Ayah tidak sudi lagi menyebut nama 'Fian'.

Tok..
Tok..
Tok..

Suara ketukan di pintu, membuat mereka terkejut.

"Fian?" Batin Zaufa bertanya-tanya.

Sang Ayah kembali emosi, Sang Ayah pun membuka pintu dengan keras dan melayangkan pukulan ke orang yang di pikirnya adalah Fian itu.

Namun pukulan itu bisa di tangkis oleh orang itu, dia bukan Fian melainkan Revalion.

"Om salah saya apa Om?" Tanya Revalion terlihat wajahnya masih syok.

"Reval," Gunam Zaufa kaget.

"Siap kamu?" Tanya sang Ayah denga  nada dinginnya, sambil mengalihkan tangannya ke tempat semula.

"Om lupa sama saya? Saya Revalion, anak Bunda Klara dan Abah Syam," Ucap Revalion menjelaskan.

"Kamu anaknya Syam!?" Tanya Sang Ayah dengan nada kaget.

Revalion hanya membalasnya dengan anggukan singkat.

"Saya ke sini mau jemput Zaufa Om, kita satu sekolah, tapi baru kemarin saya tau kalo Zaufa ini anak Om, sahabat kecil saya dulu," Ucap Revalion sambil menatap Ayahnya Zaufa.







ZAUFIAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang