Pagi ini adalah hari pertama awal kontrak 40 hari dimulai. Aku membetulkan letak poniku sambil bercermin dengan senyum sumringah, kemudian aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Burung-burung nampak bertengger dengan cerianya di atas atap rumah tetanggaku. Jumlah mereka kira-kira ada empat ekor, sedang asik bersenggolan, kadang terbang berpindah tempat. Bener-bener lucu! Jadi gemas ingin menangkap.
Senyumku semakin lebar seraya memejamkan mataku.
Ya Tuhan, buatlah hari ini menjadi hari yang berkesan. Amin!
Kemudian aku membuka mataku lagi. Ya, itu harapanku. Aku ingin hari ini menjadi hari yang amat berkesan bersama dia; Fardillah Sidik Ibrahim, kekasihku sekarang. Terdengar berlebihan memang, tapi apa pun yang aku lakukan pasti pernah terjadi juga pada orang yang sedang jatuh cinta.
Rasanya indah bukan?
Aku mengambil tasku lalu berjalan keluar kamar menuju meja makan. Perutku sudah berbunyi saja sedari tadi, namun sebelum itu, aku akan lebih dulu membuka handphone, membuka aplikasi pesan, dan kemudian aku akan menanyakan apa yang harus aku tanyakan.
Ardi, apa lo udah sarapan?
____
Ketukan tangan di atas meja membuyarkan lamunanku dan kembali ke dunia nyata. Kepalaku mendongak, menatap siapa si pelaku. Seketika senyumku langsung mengembang melihat siapa dia.
Ardi!
"Hey!" sapaku kelewat senang. Jelas saja, ku pikir hari ini dia tidak masuk sekolah, karna jam sudah menunjukan pukul tujuh lewat. Itu artinya, para siswa yang masih di luaran sekolah, sudah tidak diperbolehkan masuk. Tapi entah bagaimana bisa Ardi berhasil melewati guru yang paling galak di sekolahku ini.
Ardi hanya tersenyum kecil menanggapi ucapanku. Dia lalu melirik mejanya sekilas dan kembali menatapku lagi. Aku tau apa maksud lirikannya barusan.
"Lo belum ngerjain PR lagi?" tanyaku pura-pura kesal.
Dia berdehem. "Ayo, nanti gue beliin pop mie, deh," ucapnya, tapi terdengar tak ikhlas. Meskipun begitu, aku tetap merespon layaknya Rasha Andini seperti biasa. Hiperaktif!
"Oke! Tapi janji dulu! Janji! Janji!"
Dan seperti biasa pula, dalam menghadapi kegilaanku, Ardi hanya memutar bola mata dan pergi ke mejanya. Tipikal Ardi sekali. Tapi sikap cueknya itu hanya tertuju padaku, tidak pada teman-temannya.
Dia sangatlah ramah dan supel, tidak ada yang tidak suka jika berada didekatnya, begitupun aku. Oh, kau tau, awalnya sikapnya pun juga seperti itu padaku, tapi semenjak aku bilang bahwa aku menyukainya.
Dia berubah total! Entah itu perlakuannya, tatapannya, hingga nada bicaranya. Namun, seakan buta dan tuli, aku tidak peduli.
"Asha, cepet udah mau masuk!" Ardi bersungut jengkel. Oh, lihat wajahnya, rasanya aku ingin sekali menciumnya!
Aku mengambil buku matematika di dalam tas kemudian berjalan menghampiri mejanya. "Nih, tapi yang nomer tiga gue belum. Gak ngerti!"
"Emang apa coba yang lo ngerti?" Sahutnya seraya membuka buku tulisku tak bergairah. Dahinya berkerut sejenak lalu menatapku di sudut meja. "Tulisin, ya? Tangan gue sakit banget tadi abis manjat pager."
"Siapa suruh manjat pager? Udah tau pintu ada!" Aku berkata kesal sekaligus khawatir. Namun saat aku berusaha menggapai tangannya, Ardi malah menghindar dengan memainkan handphone.
Tidak apa-apa, dia sudah biasa seperti itu. Anti dengan yang namanya kontak fisik denganku. Tapi tidak dengan Rida. Aku meringis, terkadang pikiran dalam kepalaku selalu saja datang mengganggu, seperti sekarang misalnya.
Mengabaikan asumsi, aku mengambil tempat di sebelah Ardi dan mulai menyalin. Sesekali mataku meliriknya. Dan sering kudapati pula ia tengah tersenyum bersama telpon genggamnya.
Oh, aku senang sekali melihatnya sebahagia itu, rasanya semacam ada kupu-kupu yang berterbangan dalam perutku. Tapi sejujurnya, yang aku rasakan adalah bentuk dari sebuah rasa familiar yang menyebar. Kamuflase dari rasa sesak, dan itu sangatlah tak nyaman.
Tidak apa-apa .. setidaknya dia tersenyum.
____
Aku berjalan menyamai langkah lebar Ardi menuju kantin. Ya, ini sudah jam istirahat tiba, dan aku ingin menghabiskan hari cerah ini dengan Ardi meskipun hanya di sekolah. Aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya yang sedikit lebih tinggi dariku.
Oh, lihat ekspresinya! Tatapan dinginnya, dahinya yang sedikit berkerut, dan bibir tipisnya yang mengantup keras, benar-benar menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
Aku menyukainya!
Kemudian mataku beralih menatap tangannya yang bebas. Oh, bolehkah aku berharap untuk menggamitnya?
Dengan perlahan, kuberanikan untuk menggenggam jemarinya, dan begitu kulit kami sudah bersentuhan, Arti menggeliat kaget. Dia menatapku lurus sembari menjauhkan tangannya bersamaan dengan raganya yang ikut menjauhiku.
Ya Tuhan, seharusnya aku ingat. Peraturan pertama dalam kontrak kami.
Tak ada kontak fisik, di mana pun!
Aku tertawa miris dan melanjutkan jalanku melewati koridor. Hubunganku sungguh terlalu rumit untuk dijalani. Dan semua itu, akulah yang memutuskan.
"Asha!"
Mendengar teriakan di balik tubuhku, aku menoleh dan mendapati Rianti yang berlari ke arahku sembari melambaikan tangan dengan senyum sumringah menghiasi wajah manisnya. Ah, dia terlihat senang sekali hari ini.
"Mau ke kantin?" tanyanya setelah berdiri di sampingku. Aku mengangguk dan tersenyum. "Tapi tadi gue liat lo sama .. Ardi?" lanjutnya hati-hati.
Rianti mengetahui rahasiaku dengan Ardi, semuanya!
Aku mengangguk. "Dan lo juga liat 'kan kalo dia udah pergi duluan?" Tanyaku berusaha terlihat bahagia seperti biasa. Aku menarik tangan Rianti agar segera melanjutkan langkah kami.
"Kenapa emangnya?"
"Kenapa nanya? Bukannya lo tau kalo Ardi emang begitu sama gue," jawabku membalikan pertanyaannya. Dan ku lihat dia cemberut. Haha.
"Dasar!"
"Eh, mau beli apa nanti di kantin? Gue pengen mie ayam ah!" Seruku girang. Iya, perutku ini tidak akan bisa diajak kompromi jika sudah berhubungan dengan Mie ayam.
"Oke, gue juga deh!"
_____
Ceritaku, adalah tentang Rasha dan Ardi.
Ya, ini tetang kami. Di mana masalah hati akan terus mengalir sampai ada yang menyadari arti sebuah ketulusan yang sebenarnya. Tanpa adanya kontrak, perjanjian, atau hal lain yang berhubungan dengan hancurnya sebuah ikatan.
Aku tau, cinta tak bisa dipaksakan. Tapi bisakah aku berdoa dan berharap untuk bersama Ardi selamanya. Katakanlah aku egois! Benar, cerita ini akan menceritakan tentang betapa egoisnya aku untuk mendapat apa yang aku mau.
Di sini, aku menempuh jarak bukan berperan sebagai orang jahat. Aku hanya egois. Egois dalam kisah cinta antara Ardi dan Rida. Ya, itulah aku.
Peran utama yang entah berakhir bahagia, atau bersedih ria.
Perjalananku masih panjang. Yaitu, 39 hari lagi. Dan aku tak akan menyerah meski tembok baja sudah menghalangiku di hari pertama bertempur.
-To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...