Bagian 11

3K 220 5
                                    


"Pak, gerbangnya jangan ditutup dulu!" Dari kejauhan, aku berteriak saat melihat satpam sekolah hendak menutup gerbang. Tapi seolah kehilangan telinga, satpam itu cuek saja, sementara aku ngos-ngosan mengatur nafas.

Benar-benar!

Kesal sekali aku hari ini, terutama pada Kakak tiri sialan itu! Dia meninggalkanku sekolah. Padahal biasanya, Drian paling rajin mengangguku saat pagi.

Ya, aku tau, aku tau suasana kami sedang kurang baik selama dua hari belakangan. Tapi aku tak menyangka Drian se-hello kitty ini sampai-sampai malas melihatku.

"Pak, tolonglah ...," pintaku memohon, bahkan aku rela memasang tampang paling menggemaskan (aku tau kalian tak setuju akan itu) dari sela gerbang.

Satpam itu menggeleng. "Neng udah lewat empat puluh menit. Kalaupun saya izinin Neng masuk, saya gak yakin Pak Gading ngizinin Neng di sini."

Ouch! Double sial! Aku lupa kalau sekarang tugas Pak Gading yang menjadi guru BK. Jika sudah begini, apalah dayaku?

Dengan lesu, aku berjalan menjauhi gerbang, menunduk, menendang-nendang udara kosong. Kelakuanku pasti seperti anak kecil sekali. Masa bodoh!

Pertanyaanku sekarang adalah ... ke mana aku akan pergi? Tidak mungkin pulang, bukan? Aku sedang malas di rumah. Di sana seperti neraka kedua bagiku.

Kenapa aku beranggapan begitu? Sebenarnya aku tak ingin, tapi kenyataan mendesakku.

Ayah--akhirnya--mencintai Mama Rini, Bunda tersiksa, dan aku benci Ayah. Itu adalah jawaban lebih pasti.

Jika kalian bertanya apa aku membenci Mama Rini dan Drian juga? Aku tidak tau. Masih terasa abu-abu di mataku. Aku masih tidak percaya.

Aku tau cinta datang tanpa terduga meski kita tak ingin. Tapi janji Ayah dulu sangatlah memuakkan. Ia mengatakan takkan menggunakan cinta untuk menolong keluarga Drian dan takkan menyakiti Bunda lagi. Tapi lihatlah realita ini, kawan ..., menggelikan.

"Heh," suara berat terdengar di telingaku.

Kontan, aku mendongak, menatap kaget orang di depanku itu.

"A-ardi?" Well, aku pasti berhalusinasi karna merindukannya.

Sebelah alisnya terangkat disusul dengan jepretan telunjuknya di dahiku. Membuatku meringis.

"Ngapain lo masih berkeliaran di luar sekolah? Mau jadi anak bandel juga kayak gue?" Tanyanya. Dan aku tidak yakin begitu karna wajahnya yang tanpa warna. Datar.

Meski gugup, aku menjawab, "gue telat. Siapa juga yang mau jadi kayak lo!"

"Ya, udah, sih!" Sentaknya lalu pergi berlalu berlawanan arah.

Aku mendengus, menatap punggungnya. Dua hari tidak bertemu, rasa sayangku malah semakin bertambah meski tanpa kabar darinya sekalipun. Katakanlah aku gila karna masih bertahan. Tapi bukankah sudah kukatakan sejak awal. Aku tidak akan menyerah!

Lagipula masih ada sisa waktu kurang-lebih dua puluh hari lagi untuk membuat Ardi menyadari keberadaanku.

Jadi, sekarang aku sudah tau tujuanku. Berjalan riang menyusul Ardi ke manapun dia pergi. Yang pasti bukan ke sekolah. Terlepas dari fakta sepertinya kami sama-sama telat.

"Lo mau ke mana?" Tanyaku setelah sejajar dengan Ardi.

Laki-laki itu melirik sekilas, mendengus. "Gak tau," jawabnya cuek.

"Bener-bener nggak tau?" Kali ini nada biacaraku meledek.

"Iya."

"Gue ikut deh ke manapun tujuan lo!" aku berujar semangat.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang