Bagian 19 || H-9 (Part II)

2.6K 188 3
                                    

Haus sekali!

Aku memandang wajah Ardan yang tengah tertidur cukup lama, lalu berpendar ke ruangan UKS, tampak sebuah galon yang masih disegel di bawah Dispenser.

Aku mendesah malas, jika sudah begini, mau tidak mau aku harus ke kantin. Menemani Ardan diurut ternyata membuat tenggorokkan kering juga.

Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri di koridor depan UKS, takut-takut jika ada guru piket yang sedang berkeliling seperti biasa. Kemudian aku bernafas lega saat dirasa aman.

"Ardan, gue tinggal, ya? Dah, cepet sembuh, Raja Gopal," pamitku dari pintu sebelum akhirnya berlari ke kantin sekolah.

"Mbak, aku mau siomay sama teh manisnya satu, ya?" Pesanku begitu aku sudah duduk nyaman di kantin.

Mbak Mar--penjual siomay--menatapku dengan dahi mengkerut. "Kamu kok keluar di jam pelajaran?" Tanyanya sembari memotong-motong kentang dan memasukkannya ke dalam mangkuk kecil.

Aku terkekeh. "Mau jadi anak bandel, Mbak." Sekaligus menghindari teman sebangku.

"Nanti ketauan guru piketmu habis, lho."

"Emang aku makanan, Mbak, diabisin segala," candaku garing, tapi tak urung membuat Mbak Mar terkekeh.

"Pake saos?"

"Pake, Mbak."

"Nih." Mbak Mar menaruh mangkuk serta gelas teh di hadapanku lalu pergi setelah aku mengucapkan terimakasih.

Lima menit berlalu, aku masih santai-santai saja menikmati siomay ini, menikmati angin barat yang berhembus sepoi-sepoi.

Tapi, sepertinya Tuhan tidak menginginkan aku bahagia sejenak karna ketika aku menoleh ke arah pintu kantin, Pak Karim--guru terganas sekolah ini--tengah berdiri dengan wajah sangar serta kayu di tangan kanannya.

Satu kata muncul dalam kepalaku; mampus!

"Rasha Andini!"

Tanpa ba-bi-bu atau membayar pada Mbak Mar--dalam hati aku berjanji akan membayarnya nanti--aku langsung ambil langkah seribu, melompati pembatas kantin yang hanya sebatas pinggang, berlari sejauh mungkin.

Ouh! Sebenarnya ini tidak berguna mengingat aku tidak bisa keluar sekolah juga, tapi setidaknya aku harus bertahan diri.

"Gue, harus ke belakang sekolah!"

Dari jauh, mataku jatuh pada jejeran tong besi besar yang sudah usang di samping gudang, di bawah pohon besar yang katanya tempat tuyul gelantungan. Halah! Masa bodo! kupikir itu tempat yang cocok untuk sembunyi.

Mataku masih awas saat berlari kesana, lalu mundur dua langkah hendak meringkuk di jejeran tong itu.

Tapi,

"Hgh!"

Mataku terbelalak begitu tau aku menduduki seseorang, kepalaku dengan cepat menoleh, dan asap rokok langsung menyambutku, membuatku terbatuk-batuk lalu beringsut menjauh.

"Sialan, lo ngerokok di belakang sekolah! Dan lo nggak tau apa bahaya asap rokok ke orang yang pasif? Lo itu--"

Kalimatku terpotong saat aku sudah sadar sepenuhnya akan siapa perokok kurang ajar itu.

Manik gelapnya menatapku jahil dengan sunggingan miring di bibirnya.

"Suka-suka gue," jawabnya santai, lanjut merokok.

"Gue salah nyari tempat ngumpet." Buru-buru aku berdiri, hendak pergi, namun terhalang karna dia menarik lenganku hingga aku jatuh di pangkuannya lagi.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang