Bagian 27

2.6K 200 8
                                    


"Saya lihat pake mata kepala saya sendiri, Mbak ini yang dorong cewek itu!"

"Iya! Saya juga lihat! Bahunya di dorong-dorong terus sampe minggir trotoar. Padahal dia tau kalo itu jalan gede, bahaya!"

"Situ mikir apa, sih, Mbak? Mau bunuh anak orang, ya?"

"Remaja jaman sekarang, kok, pemikirannya sempit, sih! Benci sama orang sampe segitunya!"

Telingaku berdenging kuat. Kalimat penuh cacian yang dilayangkan oleh orang-orang yang mengerumuni tubuh Rida sama sekali tak terdengar.

Mulut-mulut mereka membentuk kata-kata kasar, tatapan mereka bak ingin membunuh, serta jari-jari telunjuk mereka yang menunjukku penuh kebencian.

Tubuhku mematung, membisu, terlebih sewaktu Ardi menoleh ke arahku. Pipinya basah, seluruh bajunya kotor oleh darah Rida-yang sedang dia pangku, dan dia memandangku tajam, hingga kalimat yang paling tidak ingin kudengar darinya, ia layangkan.

"Pembunuh!"

Lututku melemas, sampai secara teratur, aku melangkah mundur, berniat menghindar dari apa yang sudah kulakukan.

Tubuhku berbalik, berusaha berlari ke tempat di mana aku dapat bersembunyi dari kesalahan yang menyorotku, dari tatapan-tatapan tajam yang mengulitiku.

Telingaku masih berdenging, seperti mik yang tergeletak begitu saja di lantai. Mengganggu pendengaranku, namun tak mampu untuk menghalangi kata "pembunuh" yang baru saja Ardi tujukan padaku.

Tangisku pecah kembali, kali ini tanpa suara. Menetes satu demi satu hingga membentuk anak sungai di pipi, mengalir nampak menyedihkan.

Tanpa sadar, langkah telah membawaku menuju rumah. Rumah baruku bersama Bunda. Bunda yang paling kusayang. Tempat terakhirku mengadu untuk saat ini.

Bukan Drian.

Tidak ada Drian.

"Sayang? Ngapain di sana? Udah nganterin rantangnya?" Suara Bunda membuat hatiku perih. Menyebabkan kandungan air mata semakin bertambah. Mengalir dan membuat kedua mata Bunda membulat sempurna. Terkejut.

"Bunda ...," langkahku menjauh dari pagar ketika melihat Bunda berjalan mendekat. Aku takut. "Bunda," tapi aku masih memanggilnya.

"... aku pembunuh, Bunda, aku pembunuh."

Kami kemudian terdiam. Air mataku makin deras, sementara Bunda berekspresi pias. Mungkin bingung mungkin juga tidak percaya. Namun yang kumau memang ini, Bunda adalah orang pertama yang tau aku telah membunuh seseorang.

"Aku nggak sengaja, Bunda ...."

"Rasha, masuk dulu, ya? Jelasin sama bunda ada apa?" Tangan Bunda berusaha menggapai tubuhku, tapi aku menepisnya.

"Jangan sentuh aku, Bunda, aku pembunuh."

Bunda ikut menangis, menutup mulut dengan telapak tangan. Aku sudah membuatnya terluka juga.

"... maafin aku, Bunda."

"Nak, jangan gini, ayo masuk dulu ... jelasin sama bunda, ada apa? Bunda nggak ngerti."

Mendengar Bunda yang sesenggukkan, akhirnya aku mengalah, memeluk tubuhnya erat, menumpahkan segalanya di dalam dekapan wanita yang telah melahirkanku ini.

"Aku, pembunuh, Bunda," bisikku lirih sebelum akhirnya semua pandanganku menghitam.

____

Pembunuh!

Pembunuh!

Pembunuh!

"Nggak ... saya nggak sengaja."

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang