Pada akhirnya, meski aku berbuat jahat, aku jugalah yang terluka.
____
"Woy! Bengong aja!"Trak!
Bunyi suara gelas pecah membangunkanku dari lamunan. Celingukkan heran ketika mendapati semua orang di kantin menatapku.
"Ada apa?" Gumamku pelan, seraya menurunkan kaki dari pijakkan meja, dan bunyi krak mengambil perhatianku. "Yah, kok bisa jatoh?"
"Asha, lo ini kenapa, sih?"
"Hah?" Kepalaku mendongak, menatap Rianti yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang, memandangku aneh, "kapan lo ke sini?" tanyaku heran.
Dia mengambil duduk di sebelahku, yang kebetulan kosong karna orangnya pergi pada teman-temannya.
"Lo kaget karna apa?"
"Suara gelas pecah," sahutku seadanya, sambil berjongkok, memunguti pecahan besar hingga terkecil gelas milik Bang Adam tersebut. Ah, aku harus menggantinya nanti.
"Serius? Bukan karna suara gue?"
"Gue aja nggak tau lo teriak." Aku berdiri, menaruh pecahan itu di samping mangkuk mi ayamku dengan hati-hati.
"Lo kenapa, Sha?"
Aku menghela nafas. "Itu pertanyaan kedua lo. Gue nggak apa-apa, emang kenapa coba?"
Rianti bertopang dagu, menatapku dengan mata memicing. "Lo kayak nggak lagi di alam lo. Keliatan depresi, tau nggak!"
"Ngada-ngada, nih, bocah," jawabku, menyikut perut Rianti pelan.
Dia berdecak. "Ngada-ngada apaan! Orang mah kaget karna diteriakkin, ini kaget karna gelas pecah. Pecahnya sama dia sendiri lagi. Nggak masuk akal."
"Masukkin aja biar jadi berakal."
"Nggak jelas."
Diam-diam aku terkekeh melihat Rianti cemberut sembari membuang muka. Lalu membiarkannya dengan melanjutkan makan.
"Ardi mana?"
Gerakkan menyuapku terhenti dan menaruhnya lagi di mangkuk. "Nggak tau," jawabku pelan.
"Kok nggak tau?"
Pandanganku lurus ke depan, di mana orang yang sedang kami bicarakan tengah bersenda gurau bersama teman-temannya dari berbagai kelas.
"Dia bilang mau sama temennya dulu."
Lagi, terdengar Rianti berdecak. "Ya, berarti lo tau lah! Ampun, deh! Sekali lagi, lo kenapa?!"
Aku mendelik. "Gak usah pake urat juga. Hari ini gue emang lagi nggak konek. Puas?"
"Biasa aja," sahut cewek di sebelahku dengan menjengkelkannya.
"Ardi kayak lagi menghindar dari gue, Ti. Tapi, gue nggak tau karna apa," gumamku seperti berbisik.
Namun, tak ada tanggapan apa pun dari Rianti. Dan saat aku menoleh padanya, ternyata dia sedang mengobrol dengan temannya di meja sebelah.
Aku menarik nafas, kembali melanjutkan makan.
"Ardi! Lo masuk!" Aku berseru bahagia melihat Ardi datang tanpa cacat. Dia nampak sehat seperti sebelumnya.
Aku berjalan cepat ke mejanya, hendak memegang dahi sekedar mengecek, tapi tanganku justru ditepis olehnya tanpa menatapku.
Ardi tidak berkata apa-apa. Hanya melirikku sekilas lalu menelungkupkan kepala di atas meja, menghiraukanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...