Epilog

5.3K 282 23
                                    


Oh, ya, kendatipun buku tentangku dan Ardi resmi ditutup, masih ada buku lain yang belum kututup.

____


Tak disangka, empat bulan telah berlalu. Dan selama itu, aku melewati banyak hal, belajar, belajar dan belajar. Ini merepotkan, tapi aku bersyukur karna akhirnya aku berhasil ujian meski dengan nilai yang seadanya.

Seraya membubuhkan tandatangan di atas surat serah terima, aku melirik Bu Meta yang masih menatapku tajam.

Oh, ayolah ...

"Saya cantik, ya, Bu Meta?" Tanyaku awkward, dan mata Bu Meta semakin membulat.

"Kenapa nilai UN matematika kamu kecil banget?!" Itu pertanyaan sekaligus gertakan ke enam kalinya.

Aku meringis seraya mengambil ijazah yang ada di samping surat serah terima. "Ibu, 'kan tau kalo saya itu kurang jago matematika."

"Bukan kurang jago, tapi malas mendalami!"

"Aduh, Bu, saya udah lulus, lho. Masa mau dimarahin aja? Saya udah nggak ketemu MTK lagi nanti."

"Emangnya kamu nggak mau kuliah?!" Lagi, ibu beranak satu itu meneriakiku, membuat perhatian guru-guru di kantor sempat teralihkan.

Tanganku terjulur untuk menggaruk kepala, jengkel. "Iya, Bu, kuliah. Tapi, Ibu marah-marahnya nanti aja, ya? Lewat telpon rumah atau Whatsapp."

Lalu, ketika Bu Meta hendak menyahut kembali, aku segera memotongnya, "murid yang mau ngambil ijazah masih banyak, Bu, di luar. Nanti lanjutin lagi, oke?"

Aku nyengir tiga jari ketika melihat Bu Meta menghela nafas, tanda menyerah.

"Untung nilai kejuruan kamu lumayan. Ya, sudah, sana keluar! Nanti saya Whatsapp," katanya.

Aku memperagakan gaya berhormat, sebelum akhirnya terkekeh dan melenggang ke luar, menghirup udara sekolah yang mungkin akan kurindukan.

Mungkin.

Kakiku dengan ringan melangkah di koridor, tersenyum pada anak-anak angkatanku yang juga sedang mengambil ijazah di wali kelasnya masing-masing.

Ah, rasanya lega sekali setelah berbulan-bulan berjuang.

Berjuang untuk belajar juga berjuang untuk mendapat kepercayaan teman-temanku. Tapi, ternyata pada poin kedua tidaklah mudah.

Semenjak kejadian di koridor waktu itu--bersama Laila, orang-orang di sekolah kerap kali menggunjing di belakangku. Mengatakan aku tidak punya otak dan kejam, bahkan teman sekelas pun sama. Mereka selalu berasalan apa saja jika kudekati untuk menanyakan sesuatu.

Yah, dari sana aku pasrah.

Lagipula aku masih punya mereka; orang-orang yang berdiri merangkul bahuku.

Plak!

"Anjrit!" Pekikku kemudian dengan cepat berbalik badan, memegangi kepala.

Ardi, tersenyum kuda sambil berdadah-dadah menggunakan ijazahnya yang digulung. Dasar idiot! Dia memukulku dengan itu!

"Berapa nem lo?"

"Bukan urusan lo, ya!" Ketusku, berjalan melewatinya.

Dan Ardi mengikuti. "Tau yang bego mah, percaya!" Hinanya.

Aku menoleh, menampilkan senyum bengis. "Percaya juga sama yang lebih bego, mah!"

"Wow! Aku terhina," selorohnya berlebihan, sambil memegang dada dramatis, lalu tertawa geli.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang