Aku mengusap keningku yang baru saja dihadiahi jitakan gemas dari seorang Ardi, yang masih menatapku dengan mata setengah membulat.
"Lo gimana sih? Masa bisa ilang?" tanyanya setengah membentak, membuat aku menunduk takut sekaligus merasa bersalah. Dan dari mulutku, hanya keluar kata 'maaf' yang begitu pelan, bahkan nyaris berbisik. Kali ini aku tak berani melawan, Ardi terlihat sangat menyeramkan.
Dia terduduk putus asa dihadapanku, mengacak frustasi rambutnya. Oh, aku membuatnya kesal lagi. Entah sudah berapa panjang daftar menjengkelkanku baginya.
Ardi menatapku lirih. "Lo tau gak kalo jaket itu bener-bener berharga buat gue? Bahkan gue lebih rela kehilangan handphone gue daripada jaket itu, Sha!" Aku semakin menundukkan kepala, enggan menatap balik dirinya. Lalu kudengar Ardi membuang nafas berat. "Itu hadiah dari Rida. Hadiah anniversary kita yang ke satu tahun."
Mendengar kalimat barusan, kepalaku refleks terangkat. Memandang Ardi dengan ekspresi yang entah bagaimana. Terlalu mencengangkan bahkan sampai membayangkan ekspresi wajahku saja aku tidak tau. Ingin rasanya aku tertawa keras setelah ini, tapi hal itupun aku tak sanggup melakukannya.
Dia memarahiku begitu keras karna jaket itu. Jaket yang ternyata pemberian kekasihnya, jaket yang bahkan membuat ia lebih rela kehilangan handphone keluaran terbarunya. Lalu ..
Bagaimana jika ia kehilangan diriku?
"Maaf .." sesalku sekali lagi. Kau tau, daya hidupku seakan tersedot oleh makhluk tak kasat mata. Tak ada lagi gairah untuk sekedar bertingkah agresif seperti biasa agar Ardi terhibur. Lagipula aku juga sadar, bahwa ini bukan waktu yang tepat.
Ardi berdiri dari duduknya, memandangku hambar sebelum akhirnya meninggalkanku sendirian. Di tengah rasa bersalah sekaligus nyeri yang seakan membakar jiwaku. Ini baru hari ke enam kontrakku berjalan, tapi sejauh ini, Ardi malah semakin tak menyukaiku karna semua perbuatanku.
Ingin rasanya aku menangis, berteriak, dan melampiaskan amarah pada apa-apa saja yang ada di taman menyedihkan ini, tapi sekedar untuk menggerakan jari pun aku tak mampu.
Lagi dan lagi, aku membuatnya jengkel. Tanpa sadar aku menangis dalam diam, dalam lautan rasa bersalah yang semakin menggerogotiku. Dulu aku sangat membenci menangis, tapi kali ini berbeda, setidaknya aku merasakan lega.
Apa meminta maaf akan menyelesaikan masalah dan mengembalikan semua? Kurasa tidak.
Aku menghapus air mataku kemudian memandang sekeliling taman yang tadi aku lewati sebelum jaket itu menghilang. Ya, aku akan mencarinya agar Ardi tak marah lagi padaku. Bahkan, aku tak peduli meski ini sudah hampir maghrib.
_____
Sudah hampir tiga jam aku mencari kesana-kemari tapi aku tetap menghasilkan kehampaan. Jaket itu tak kutemukan di manapun, bahkan tak ada satupun yang melihat ketika aku bertanya-tanya pada pejalan sekitar.
Oh, aku benar-benar hampir putus asa. Lalu, haruskah aku menyerah? Tapi jika aku menyerah, Ardi tidak akan merubah sikapnya juga padaku. Apa yang harus kulalukan, kali ini aku sudah lelah. Tidak mungkin bukan jika aku nekad mencari hingga tengah malam. Bisa-bisa aku tak diakui sebagai anak lagi oleh Ayah dan Bunda.
Baiklah .. Ardi, maafkan aku.
Aku berjalan gontai menuju jalan setapak yang berada di tengah-tengah taman, ditemani oleh gelapnya langit. Sejujurnya aku ketakutan, berjalan di malam hari sendirian, dan aku membayangkan bahwa aku adalah peran utama dalam sebuah film horror.
Tidak-tidak! Bulu tubuhku meremang! Sebisa mungkin aku mempercepat langkahku, meninggalkan taman yang memliki aura menyeramkan yang semakin menjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...