Gue nggak percaya diri banget sama Part ini. Jadi, perhatian, siapkan kresek sebelum membaca. Semoga nggak muntah, ya! 💕
_____
Angin malam menerbangkan helaian rambutku yang tak terkuncir. Mataku memandang lurus pada pagar setinggi dagu yang menjadi view-ku setiap membuka jendela kamar.
Ya, rumahku tidak tingkat dan indah seperti rumah Ayah. Jadi, hanya itu yang dapat kulihat. Tidak ada lagi langit malam, tidak ada lagi matahari tenggelam, dan tidak ada lagi kegiatan untuk memperhatikan warga setempat dari atas.
Rumah ini seadanya, sederhana untuk kita berdua.
Aku tidak bisa tidur malam ini. Rasanya mata seperti ada yang mengganjal hingga sulit terpejam. Pikiran dan hatiku pun sedang tidak berada pada tempatnya.
Kosong.
Memang apa yang membuatku kosong? Aku pun tidak tau. Mungkin ini hanya perasaan sementara setelah rentetan masalah yang berangsur-angsur pergi. Aku yakin itu.
Clek!
"Sayang, belum tidur?" suara Bunda memanggil dari arah pintu, membuatku lantas menoleh. Tersenyum tipis. "Kamarnya nggak enak, ya? Atau mau tukeran sama bunda?"
Kepalaku segera menggeleng. "Enggak, Bunda, cuma lagi susah tidur aja," jawabku memberi alasan. Padahal biasanya, aku memang susah sekali tidur.
"Bener?" Aku mengangguk. Kemudian, Bunda melangkah masuk ke dalam kamarku, duduk di sisi ranjang. "Boleh ditemenin, 'kan? Bunda kesepian di belakang."
Mendengar itu, senyumku memudar. Kendati pun Bunda mengatakan itu diiringi nada candaan, tapi hatiku seakan tertikam pedang tak kasat mata.
Kesepian.
Kata itu juga membuatku sadar, bahwa sekarang kami hanya hidup berdua, tanpa Ayah. Dan tanpa alasan jelas, aku terkadang membenci laki-laki tersebut.
"Sha?" Mataku mengerjap, lalu membalas panggilan Bunda dengan dehaman, "bunda liat beberapa minggu ini kamu jarang senyum. Apa ada yang salah sama sekolahmu?" Tanyanya hati-hati.
Membatu sesaat, sebelum akhirnya menjawab, "nggak ada, Bunda."
"Teman-teman kamu juga nggak kayak pas lagi smp, 'kan?"
Aku tidak punya teman. "Nggak, Bunda. Semua baik-baik aja," ucapku seraya memaksakan senyum.
"Atau cuma perasaan bunda?" Wanita paling kusayangi itu mengusap dagu, bergaya seolah detektif. Tapi, aku tau, Bunda hanya berniat mencairkan suasana.
"Seharusnya aku yang nanya itu ke Bunda. Apa selama beberapa hari ini Bunda baik-baik aja? Aku liat setiap bangun tidur, mata Bunda bengkak."
Entah itu melukai egonya, tapi yang jelas perubahan wajah Bunda sangat cepat.
Dengan tawa getir, Bunda mengibaskan tangan udara. "Ya, namanya orang bangun tidur, pasti bengkak, dong, matanya."
"Enggak kalau Bunda malemnya nggak nangis," sahutku datar, lalu menghela nafas saat melihat Bunda menunduk.
Aku berjalan menghampirinya, memeluk bahu Bunda. "Bunda punya aku, Bunda bebas cerita, nggak baik mendem perasaan. Nanti kalo Bunda sakit, kasian aku, dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...