Bagian 12

2.6K 208 19
                                    

Laki-laki itu melempar tas badmintonnya tepat di samping sofa yang kududuki. Menatapku tajam.

"Pulang jam berapa lo? Dan lo kemana aja hari ini? Kenapa gak sekolah?"

Pertanyaan Drian sama sekali tidak berniat kujawab. Aku tetap bungkam, menatap televisi yang jujur tidak ada menarik-menariknya.

"Asha! Gue ngomong!" Kali ini dia berteriak.

Aku memutar bola mata, beranjak dari sofa menuju kamarku, di lantai dua. Dia sangat mengganggu!

"Rasha Andin--"

Dengan cepat aku memotong, tanpa berbalik badan, "lebih baik lo ganti baju. Karna gue gak tahan nyium bau keringet lo."

____

"Sebelumnya gue mau minta maaf," jeda sejenak, "gue ... mau kontrak kita berakhir sampai sini."

Bagai tersihir, aku hanya terdiam, memandangnya kosong.

Ardi mengambil nafas dalam lalu membuang muka. "Gue gak bisa nerusin kepura-puraan ini, dan gue juga gak bisa terus hianatin Rida. Praktisnya, gue ngerasa jahat."

Itu alasannya?

Sekuat hati aku tersenyum getir, namun tidak mengatakan apa-apa.

Dia bilang ... semua yang kita jalani hanya kepura-puraan? Benarkah? Sementara aku menganggap hubungan ini adalah harapan. Apakah kembali sepihak lagi?

Dia bilang ... dia merasa jahat pada Rida, tapi padaku? Ardi bahkan tidak merasa ada setitik rasa bersalah yang menyentil hatinya.

Setidakpenting itukah perasaanku?

"Gue minta maaf."

"Gue anggap itu permintaan maaf terakhir lo buat gue, Ar," jawabku seceria mungkin meski tanganku mulai terasa kebas. "Dan ... terima kasih dari gue ini juga ungkapan terakhir dari gue buat lo.

"Terimakasih banyak buat setengah kontrak yang udah kita jalanin. Gue seneng meski impian gue gak tercapai, yaitu bikin lo jatuh cinta sama gue.

"Tapi, mustahil. Haha" aku tertawa sumbang. Namun Ardi hanya mendengus. Dia masih tidak mau menatap wajahku.

"Tapi gue harap kita masih bisa ngobrol kayak biasanya, Sha," pintanya.

Aku terdiam sebentar. Sudut bibirku menukik kecil. "Gue gak yakin, Ar. Karna sejujurnya, ini berat buat gue."

"Sha--"

Buru-buru aku menyahut, "tapi gue janji bakal senyum kalo ketemu lo! Tenang aja."

Dia kini menatapku, dengan tatapan yang tak juga kuinginkan. Di matanya, aku seolah menyedihkan dan perlu dikasihani.

"Maaf," ucapnya lembut, lalu tiba-tiba Ardi maju selangkah, hendak memelukku, namun secepat mungkin kutahan.

Mungkin sudah saatnya aku menyerah.

Karna sekarang, perkataan Drian tempo lalu, mulai menampar kesadaranku.

"Lo inget 'kan, gak ada yang namanya kontak fisik."

____

     Ingatan beberapa jam lalu itu lagi-lagi menghantuiku. Membuatku harus ekstra sabar menghadapinya. Jangan sampai termenung! Aku harus menyibukkan diri.

Maaf ...

Sekarang apa yang harus kulakukan? Oh, ya, melanjutkan baca novel milik Rianti.

Maaf, gue gak bisa terus berkhianat ...

Novel yang kubaca cukup tebal untuk menghilangkan bosan serta jenuh. Terlebih isi ceritanya yang menggugah rasa penasaran di setiap akhir babnya.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang